Petualangan Ganjil Baron Munchausen - Rudolph Erich Raspe




 1


[BARON SEHARUSNYA MENCERITAKAN PETUALANGAN INI KEPADA TEMAN-TEMANNYA DENGAN DITEMANI SEBOTOL MINUMAN] 


Baron menceritakan kisah perjalanan pertamanya—Dampak badai yang menakjubkan—Tiba di Sri Lanka; memerangi dan menaklukkan dua lawan yang luar biasa—Kembali ke Belanda. 


Beberapa tahun sebelum janggutku tumbuh menandakan bahwa aku telah dewasa, atau dengan kata lain, ketika aku belum menjadi lelaki dewasa tapi juga bukan lagi seorang anak, aku sering mengungkapkan keinginan kuat untuk melihat dunia. Namun, orangtuaku tidak mendukung keinginan itu, meskipun ayahku sendiri seorang petualang juga, seperti akan terbukti sebelum aku mencapai akhir petualanganku yang unik, dan bisa kutambahkan, menarik. Seorang sepupu dari pihak ibuku menyukai diriku, sering berkata bahwa aku adalah seorang pemuda yang berbakat, dan sangat ingin memuaskan rasa ingin tahuku. Bujukannya lebih  berhasil, sehingga akhirnya ayah setuju mengizinkan aku menemaninya dalam perjalanan ke pulau Sailan, tempat pamannya tinggal sebagai gubernur selama bertahun-tahun.

Kami berlayar dari Amsterdam sebagai utusan dari Yang Mulia di Negeri Belanda. Satu-satunya peristiwa yang patut diceritakan yang terjadi selama pelayaran kami adalah dampak luar biasa dari badai, yang telah mencabut sejumlah besar pohon yang sangat besar dan tinggi hingga ke akar-akarnya, di sebuah pulau tempat kami berlabuh untuk mengambil kayu dan air. Sejulah pohon ini beratnya mencapai beberapa ton, namun terbawa oleh angin yang sangat kencang, sehingga tampak seperti bulu burung kecil yang melayang di udara, karena mereka berada setidaknya delapan kilometer di atas permukaan bumi. Namun, begitu badai mereda, semua pohon itu jatuh tegak lurus ke tempat masing-masing, dan berakar kembali, kecuali pohon yang terbesar. Pohon ini ketika terangkat ke udara, kebetulan membawa seorang pria dan istrinya, pasangan tua yang sangat jujur, yang sedang memetik mentimun (di wilayah ini, sayuran berguna tersebut tumbuh di atas pohon). Berat pasangan ini, saat pohon turun, telah membuatnya kehilangan keseimbangan, sehingga jatuh dalam posisi horisontal. Pohon itu menimpa kepala suku pulau itu, dan langsung membunuhnya. Dia meninggalkan rumahnya saat badai karena khawatir badai akan merubuhkan rumahnya, dan dia sedang kembali melintasi kebunnya sendiri saat kecelakaan yang menguntungkan ini terjadi. Kata “menguntungkan” di sini memerlukan penjelasan. Kepala suku ini adalah seseorang yang sangat serakah dan penindas, dan meskipun dia tidak punya keluarga, para penduduk pulau itu setengah mati kelaparan akibat penindasannya.

Barang-barang yang dia rampas dari rakyatnya sekarang membusuk di dalam gudang penyimpanan, sementara orang-orang miskin yang menjadi korban perampasan itu merana dalam kemiskinan. Meskipun kematian sang tiran ini terjadi secara kebetulan, rakyat memilih sang pemetik mentimun sebagai pemimpin mereka, sebagai tanda terima kasih atas kematian mendiang tiran mereka, meskipun itu tidak disengaja. 

Setelah kami memperbaiki kerusakan yang kami alami akibat badai ganas itu, dan berpamitan kepada pemimpin baru serta istrinya, kami melaju dengan dorongan angin sepoi-sepoi mengarah ke tujuan pelayaran kami. 

Dalam waktu sekitar enam minggu kami tiba di Sailan. Kami disambut dengan penuh persahabatan dan kesopanan yang tulus. Petualangan-petualangan menakjubkan berikut ini mungkin bisa sedikit menghibur.

Setelah kami tinggal di Sailan selama sekitar dua minggu, aku mendampingi salah satu saudara gubernur dalam sebuah acara berburu. Dia adalah seorang pria yang kuat dan atletis, dan sudah terbiasa dengan iklim setempat (karena telah tinggal di sana selama beberapa tahun). Dia lebih tahan terhadap panas terik matahari dibandingkan denganku. Dalam perjalanan, dia telah menempuh jarak yang cukup jauh melalui hutan lebat ketika aku baru saja mau memasukinya.

Di tepi sebuah danau besar, yang telah menarik perhatianku, aku mendengar suara gemerisik di belakangku. Ketika berbalik, aku hampir membeku (siapa pun pasti begitu?) saat melihat seekor singa, yang jelas-jelas sedang mendekat bermaksud untuk memuaskan nafsu makannya dengan bangkaiku yang malang, tanpa harus meminta persetujuanku. Apa yang harus kulakukan menghadapi dilema mengerikan ini? Aku bahkan tidak punya waktu untuk berpikir; senjataku hanya diisi dengan peluru bebek, dan aku tidak memiliki peluru yang lain. Namun, meskipun aku tidak punya harapan untuk membunuh hewan sebesar itu dengan amunisi yang kumiliki, aku tetap berharap bisa menakut-nakutinya dengan suara tembakan, dan mungkin juga melukainya. Aku segera melepaskan tembakan, tanpa menunggu sampai dia berada dalam jarak tembak. Tetapi suara suara tembakan itu malah membuatnya semakin marah. Sekarang dia mempercepat langkahnya, dan tampak mendekatiku dengan kecepatan penuh: Aku berusaha melarikan diri, tetapi itu hanya menambah (kalau memang masih bisa ditambah) kesengsaraanku. Karena pada saat aku berbalik, aku mendapati seekor buaya besar, dengan mulut terbuka lebar, siap untuk mengerkahku. Di sebelah kananku, danau yang telah kusebutkan sebelumnya, dan di sebelah kiri terdapat jurang dalam, yang konon, seperti yang kuketahui kemudian, merupakan tempat hidup berbagai makhluk berbisa. Singkatnya, aku menyerah tanpa harapan, karena singa itu kini berdiri di atas kaki belakangnya, bersiap untuk menerkamku. Aku jatuh terkapar di atas tanah karena ketakutan, dan seperti yang kemudian terungkap, dia melompat ke arahku. Aku terbaring beberapa saat dalam situasi yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata, menunggu setiap saat merasakan gigi atau cakar singa di tubuhku. Setelah menunggu dalam posisi tergeletak selama beberapa detik, aku mendengar suara keras yang aneh, berbeda dengan suara apa pun yang pernah kudengar sebelumnya. Dan sama sama sekali tidak perlu heran, ketika aku memberi tahu dari mana asal suara itu. Setelah mendengarkan beberapa saat, aku memberanikan diri untuk mengangkat kepala dan melihat sekeliling. Betapa tidak terbayangkan sukacitaku, ketika aku melihat singa itu, karena terlalu bersemangat menerkam, melompat maju saat aku terjatuh, dan malah masuk ke dalam mulut buaya! Seperti yang telah kusebutkan sebelumnya, mulut buaya itu terbuka lebar; kepala singa tersangkut di tenggorokan buaya! Mereka berdua bergulat untuk melepaskan diri! Untungnya, aku teringat pada pisau berburu yang berada di pinggangku; dengan alat ini aku memenggal kepala singa dengan satu tebasan, dan tubuhnya jatuh di kakiku! Kemudian, dengan gagang senapan, aku mendorong kepala singa lebih dalam ke tenggorokan buaya, dan membuatnya mati lemas, karena dia tidak bisa menelan atau memuntahkannya. 

Segera setelah aku berhasil meraih kemenangan telak atas kedua musuhku yang kuat itu, temanku datang mencariku. Karena mendapati aku tidak mengikutinya masuk hutan, dia kembali, khawatir aku tersesat atau mengalami kecelakaan.

Setelah saling mengucapkan selamat, kami mengukur buaya itu, yang panjangnya lebih dari dua belas meter.

Begitu kami menceritakan petualangan luar biasa ini kepada gubernur, dia mengirimkan sebuah kereta dan para pelayan, yang membawa pulang bangkai kedua hewan itu. Kulit singa tersebut diawetkan dengan baik, beserta bulunya, setelah itu dibuat menjadi kantong tembakau. Sekembalinya kami ke Belanda, kantong tembakau itu aku serahkan kepada walikota, yang sebagai imbalannya memintaku menerima seribu dukat.

Kulit buaya itu dijahit dengan cara biasa, dan menjadi barang yang sangat berharga di museum mereka di Amsterdam. Para pemandu menceritakan seluruh kisah kepada setiap penonton, dengan tambahan-tambahan yang menurut mereka tepat. Beberapa variasinya agak berlebihan; salah satunya adalah, bahwa singa itu melompat melewati buaya, yang sedang berusaha melarikan diri melalui pintu belakang, dan ketika kepalanya muncul, Tuan Baron yang Agung (begitu mereka suka menyebutku) memenggalnya, beserta semeter ekor buaya sekaligus. Bahkan, begitu sedikit perhatian orang ini terhadap kebenaran, sehingga kadang-kadang dia menambahkan, begitu buaya itu kehilangan ekornya, dia berbalik, meraih pisau berburu dari tangan Tuan Baron, dan menelannya dengan begitu rakus sehingga menembus jantungnya dan membunuhnya seketika!

Kurangnya perhatian yang diberikan oleh si penipu kurang ajar ini terhadap kebenaran kadang-kadang membuatku khawatir bahwa fakta-faktaku yang sesungguhnya bisa diragukan orang, karena tercampur dengan dengan imajinasi-imajinasi konyolnya yang keterlaluan.


Ingin tahu lanjutan kisahnya? Edisi lengkap tersedia dalam versi cetak dan digital. Ssila klik pranala berikut:

Edisi cetak

Edisi digital


Komentar