Ki Bener - Dongeng Sunda Buhun


Tersebutlah seorang lelaki bernama Ki Bener.
Dia tinggal di tepi laut, tidak punya pekerjaan lagi selain memancing ikan dengan jarum, dengan dedak sebagai umpannya.
Istrinya bekerja sebagai buruh penumbuk padi, agar dedaknya dapat dipakai untuk umpan memancing.
Setiap hari Ki Bener hanya memancing saja; begitu juga dengan istrinya, setiap hari bekerja menumbuk padi saja.
Tiga tahun sudah, Ki Bener tidak mengerjakan apa-apa selain memancing ikan di tepi laut, dan tidak memperoleh seekor ikan pun, karena mata pancingnya lurus berupa jarum. Jadi ikan di laut bukannya berkurang, malah menjadi semakin banyak, berkembang biak dengan bebasnya.
Ketika sudah tujuh tahun lamanya Ki Bener memancing, tampaklah oleh raja ikan bahwa ikan di laut sudah begitu banyak jumlahnya.
Lalu raja ikan berkata kepada para pengikutnya, “Wahai anak-anakku, sekarang kita harus berterima kasih kepada Ki Bener dan membalas budi baiknya, sebab setiap hari ikan sebanyak ini selalu diberi makan oleh dirinya.”
Kemudian raja ikan memanggil salah seorang pengikutnya, yaitu ikan lika, lalu disuapinya sebutir intan sebesar kelapa, lalu raja menyuruh ikan itu menggigit mata kail Ki Bener.
Seketika itu juga, hap kail Ki Bener digigit oleh sang ikan.
Ki Bener kaget bukan kepalang karena gagang pancingnya terasa terbetot. Ketika disentakkan, ternyata dia memperoleh ikan yang sangat besar.
Betapa senangnya hati Ki Bener, lalu ikan itu dibawanya pulang.
Sesampainya di rumah, dia berkata kepada istrinya, “Nyai, sekarang kau harus lebih bersemangat bekerja menumbuk padi, agar tersedia makanan untuk umpan.”
Karena sangat patuh kepada suaminya, istri Ki Bener sampai-sampai tidak pernah mengurusi pakaiannya sendiri; terus saja bekerja menumbuk padi, bahkan sampai-sampai kepalanya pun penuh dengan dedak.
Kata istrinya, “Ki Bener, kenapa ikannya tidak dilihat dulu, dan seharusnya kan dimakan, bukannya dibungkus saja dengan pelepah pinang?” Mendengar perkataan istrinya itu, Ki Bener malah pergi ke tepi pantai, sambil membawa ikan itu.
Setibanya di pantai, kebetulan ada nakhoda kapal yang sedang melintas. Ki Bener lantas memanggil nakhoda itu sembari memegang gagang kailnya di tepi pantai, katanya, “Tuan Nakhoda, saya hendak menitipkan ikan untuk dipersembahkan kepada raja di negeri seberang lautan. Siapa tahu raja berbelas kasih kepada saya dengan memberikan segenggam beras, secuil garam, atau uang sepeser.”
“Barangkali saja beliau berbelas kasih kepada orang yang tidak berpunya.”
Kata nakhoda, “Baiklah, letakkan saja di sana, di atas kapal.”
Lalu Ki Bener meletakkan ikan itu di dalam kapal.
Kemudian nakhoda berlayar ke negeri seberang lautan.
Setelah sampai di negeri seberang lautan, nakhoda sesegera mungkin menghadap raja dan menghaturkan sembah, “Hamba tadi bertemu seseorang bernama Ki Bener, sedang memancing di tepi laut. Dia memohon kepada hamba untuk menyampaikan ikan persembahan ini kepada Paduka Raja.”
Titah raja, “Mana ikannya?”
Jawab nakhoda, “Ini Paduka, tapi dibungkus dengan pelepah pinang. Dan Ki Bener menitipkan pesan memohon beras, uang dan pakaian sekadarnya; barangkali Paduka Raja berkenan memberikan belas kasih. Begitulah pesannya kepada hamba, Paduka.”
Raja berkata, “Baiklah, taruh saja di sana, buat apa ikan seperti itu, mana sudah busuk lagi. Apa benar masih layak dimakan?”
Kemudian raja mengangsurkan ujung tongkatnya ke tubuh ikan itu sehingga menyobeknya, dan tiba-tiba sebeuah benda bergulir keluar dari dalam perut ikan itu.
Begitu dilihat oleh raja, ternyata benda itu adalah intan yang besar. Raja segera mengambilnya, menimang-nimangnya sambil berkata, “Intan ini, kalau dibeli oleh kerajaan, nilainya pasti lebih besar daripada kerajaan itu sendiri.”
Lalu raja memanggil kembali sang nakhoda.
Saat nakhoda datang menghadap raja, raja pun berkata, “Tuan nakhoda, janganlah berlayar dulu, kami hendak mengirimkan sesuatu untuk Ki Bener.”
“Baiklah Paduka, hamba siap,” nakhoda menyanggupi.
Raja segera memerintahkan kepada patih untuk membuat tujuh peti besar setinggi sehasta dan lebar lima jengkal. Setelah selesai, raja memerintahkan lagi, “Masukkan beras ke dalam peti-peti itu, dan di atasnya tumpukkan dengan uang dan pakaian.”
Tujuh peti itu semuanya sudah penuh: separuhnya berisi uang, pakaian dan beras, lalu ditutup lagi di atasnya dengan beras agar menyembunyikan pakaian dan uang itu.
Kemudian peti-peti itu dibawa dan dinaikkan ke atas kapal.
Setelah semuanya beres, nakhoda pun langsung berlayar.
Sesampainya di tepi pantai, Ki Bener tampak masih saja memancing seperti biasanya, karena memang dia tidak punya pekerjaan lain seumur hidupnya, hanya memancing saja.
Nakhoda pun berkata kepada para pelautnya, “Sekarang turunkan peti-peti itu ke tepi pantai dan berikan kepada Ki Bener.”
Setelah semuanya sudah diturunkan, nakhoda memerintahkan lagi kepada para pelaut, “Serahkan kepada Ki Bener, orang yang sedang memancing itu, bilang bahwa semua ini pemberian dari Paduka Raja.”
Para pelaut itu menyerahkan semua peti itu kepada Ki Bener sambil menyampaikan bahwa semua itu adalah pemberian dari raja.
Ki Bener menjawab pendek saja, “Terima kasih.”
Tak lama kemudian istrinya pun datang membawa dedak.
Kata Ki Bener, “Bawalah barang-barang ini olehmu, pemberian dari Paduka Raja negeri seberang lautan, cepat bawa pulang.”
Segera saja semuanya dibawa ke rumah.
Sesampainya di rumah, semua bawaan langsung dibuka. Ki Bener sangat terkejut melihat uang, pakaian dan beras sebegitu banyaknya, sambil berkata dengan lirih, “Aduh, alangkah baiknya Paduka Raja yang telah memberikan semua ini.”
Istrinya berkata, “Sudah saatnya kita berbahagia, mungkin raja berbelas kasih pada orang miskin.”
Ki Bener lalu membeli rumah besar, membeli kuda, sapi, kerbau dan berbagai macam hewan ternak.
Orang-orang yang berada di dekat rumahnya semua kaget, karena Ki Bener tiba-tiba menjadi kaya mendadak.
Berita itu akhirnya sampai juga kepada raja di negeri itu.
Raja memerintahkan Ki Bener untuk menghadap.
Tidak lama kemudian, Ki Bener datang menghadap raja, lalu raja pun bertanya, “Dari mana kau mendapatkan harta sampai bisa kaya seperti ini?”
Jawab Ki Bener, “Itu pemberian dari Paduka Raja negeri seberang lautan.”
Raja berkata, “Ki Bener, aku dulu pernah menyuruh utusan untuk berbelanja ke negeri seberang, tetapi utusanku beserta jarum yang sangat banyak itu tenggelam di lautan. Sekarang kau yang harus mengembalikan semuanya. Kalau tidak, lehermu akan dipenggal. Sekarang, pergilah!”
Maka Ki Bener pun berjalan ke tepi pantai, menangis di tempat pemancingannya.
Semua terlihat oleh raja ikan. “Ada apa. Ki Bener,” katanya, “kau menangis di tepi pantai?”
Jawab Ki Bener, “Saya diperintahkan oleh raja untuk mengambil jarum sebanyak satu keti dari dasar laut.”
Raja ikan berkata, “Jangan khawatir, Ki Bener, tunggulah di sini, jangan menangis.”
Lalu raja ikan memanggil semua pengikutnya yang ada di dalam laut.
Seketika, semua ikan di laut berkumpul. Raja ikan berkata, “Anak-anakku, sekarang kita harus membalas budi kepada Ki Bener, sebab kita telah diberi makan olehnya seumur hidup. Kini Ki Bener sedang mendapat kesulitan dan terancam hukuman mati oleh raja, kalau dia tidak bisa mengambil jarum di dasar laut. Sekarang, tugas kalian untuk membantunya.”
Pendek cerita,  semua ikan langsung menyanggupi permintaan itu.
Mereka semua menggigit jarum yang begitu banyaknya. Karena jumlah ikannya lebih banyak daripada jarum, satu jarum ada yang digigit oleh tiga ekor ikan, lalu semuanya meludahkan jarum-jarum itu di hadapan Ki Bener.
Ki Bener menghitungnya sambil menangis di tepi pantai.
Setelah semuanya lengkap, raja ikan berkata, “Silakan antarkan kepada raja, sudah lengkap semuanya, sekarang bawalah ke hadapan raja.”
Ki Bener segera memanggul jarum-jarum itu, berangkat untuk menyerahkannya kepada raja.
Setibanya di hadapan raja, dia berkata, “Hamba datang untuk menyerahkan semua jarum seperti yang Paduka minta.”
Raja pun mengambil jarum-jarum itu.
Lalu raja berkata lagi kepada Ki Bener, “Sekarang, Ki Bener, jangan bersantai-santai dulu. Coba, ambilkan lagi untukku pedang wulung di dasar laut.”
Ki Bener menjawab, “Paduka Raja, mengapa hamba diperlakukan seperti ini; Tuanku memerintahkan sesuatu yang tidak patut. Tidak mungkin ada pedang di dasar laut dan harus hamba pula yang mengambilnya. Lebih baik hamba dibunuh saja daripada disiksa begini.”
Raja membentak, “Apa? Kau tidak mau mengabdi kepadaku? Padahal kau hidup di tanahku? Ayo cepat pergi, segera berangkat, jangan banyak cingcong; aku tidak akan membunuh orang sembarangan.”
Ki Bener menjawab, “Hamba mohon pamit,” lalu dia pergi sambil menyusut air matanya.
Sesampainya di rumah, sambil menangis dia menceritakan semua perintah raja itu kepada istrinya, tanpa ada sesuatu yang disembunyikan.
Istrinya berkata, “Ah, Kanda Bener, menurutku, buat kita mati pun tidak apa-apa. Kalau Kanda mati, aku juga ikut mati; kalau Kanda hidup, aku juga akan hidup. Ayolah, sekarang lebih baik kita terjun saja ke laut.”
Sejak Ki Bener menjadi kaya, dia memiliki pengikut dua puluh orang yang tinggal bersamanya. Ketika dia mengalami kesusahan, dua puluh orang itu semuanya ikut berkumpul dan ikut pula bersedih.
Maka Ki Bener pun lantas pergi bersama istrinya.
Tak lama kemudian, mereka pun sampai di tepi laut, sambil menangis tersedu-sedu.
Setelah berdiam tujuh hari tujuh malam di tepi laut, sang raja ikan kembali melihat kehadiran mereka.
Dia pun bertanya kepada Ki Bener, “Mengapa kalian berdua menangis, Ki Bener? Sepertinya kalian mengalami kesulitan yang luar biasa. Apa lagi kesusahanmu?”
Ki Bener menjawab, “Hamba mendapat kesusahan lagi; hamba diperintah oleh sang raja untuk mengambil pedang di dasar laut. Pedang itu disebutnya pedang wulung, milik sang buaya besar.”
Raja ikan pun lalu berkata, “Jangan terlalu bersedih hati. Sekarang naiklah ke kepala anak-anakku.”
Sekonyong-konyong kepala para ikan bermunculan, siap untuk mengangkat Ki Bener.
Ki Bener benar-benar sudah pasrah.
Dia pun naik ke punggung ikan, sendirian saja, tidak bersama istrinya.
Lalu para ikan mengantarkannya pergi ke dasar laut. Sesampainya di tempat sang buaya besar, dia bertanya kepada raja ikan. Kata sang buaya, “Ada apa gerangan, raja ikan, kok membawa-bawa manusia?”
Raja ikan menjawab, “Itulah masalahnya. Orang ini diperintah oleh raja untuk mengambil pedang wulung.”
Buaya menatap tajam dan berkata, “Orang ini pastilah akan dibinasakan oleh sang raja. Tapi janganlah bersusah hati. Ambil saja pedang ini, karena aku merasa iba kepada dirimu—bukan kasihan kepada raja. Dan sampaikan pula pesanku: pada hari Selasa, sang raja harus datang ke sini; kami semua akan menyambutnya dengan sangat meriah. Sekarang, baiknya kau segera pulang ke negerimu.”
Ki Bener langsung saja pergi. Dia merasa seakan-akan sedang berjalan di daratan seperti biasanya, bukan muncul dari dalam lautan.
Sesampainya di tepi pantai, istrinya masih saja menangis.
Ki Bener berkata, “Sudahlah, sakarang jangan menangis lagi. Pedangnya sudah Kanda bawa. Ayolah kita segera pulang.”
Mereka pun sampai di rumah, namun tidak berlama-lama di sana.
Segera saja mereka bergegas kembali menghadap kepada sang raja untuk menyerahkan pedang wulung dan menyampaikan pesan dari sang buaya besar itu.
Ketika sudah berada di depan sang raja, pedang itu pun segera diserahkan, begitu pula pesan sang buaya besar pun disampaikan.
Raja benar-benar sangat gembira, tertawa lebar karena hatinya begitu senang. Sambil menyuruh Ki Bener untuk menyantap hidangan, raja pun berkata, “Nanti, kalau aku akan pergi, kau harus mengantarku.”
Ki Bener pun menjawab, “Baik Paduka, hamba siap.”
Lalu Ki Bener beranjak pulang.
Ketika tiba hari Selasa, sang raja sudah berdandan dengan rapi, Ki Bener sudah berada di tepi pantai.
Raja memerintahkan kepada semua pengiringnya, kepada patih dan para punggawa, katanya, “Kita harus pergi ke tepi pantai karena undangan dari raja buaya, yang disampaikannya ketika Ki Bener mengambil pedang.”
Singkatnya, sang raja pun berangkat, diiringi oleh seluruh pengawal dan para pejabat.
Ki Bener sudah menunggu di tepi pantai sambil membawa pedang wulung.
Saat mendekati pantai, tampaklah raja buaya dan kerumunan ikan yang bermunculan seolah-olah tiada habisnya.
Ketika sang raja sudah dekat ke tepi laut, tiba-tiba *bruk!* dia langsung diterkam oleh raja buaya dan seketika itu juga ditelannya.
Dan raja ikan pun berpesta pora; semua jenis ikan dan buaya menghaturkan sembah kepada Ki Bener.
Ki Bener berkata, “Bagaimana ini? Sekarang kita tidak punya raja lagi, karena raja tadi diterkam oleh buaya.”
Ucapan itu terdengar oleh para menteri, pengawal, dan terutama patih.
Patih berkata kepada Ki Bener, “Syukurlah, raja pendengki itu akhirnya diterkam oleh buaya. Raja itu jahat hatinya. Hanya Ki Bener yang hatinya baik. Lebih baik sekarang engkau saja yang menjadi raja.”
Saat itu juga, Ki Bener langsung dinobatkan menjadi raja oleh sang patih dan para pengawal. Semuanya bersorak kegirangan.
Raja Bener bertanya kepada patih dan para pengawal, “Bagaimana dengan istri mendiang raja dan semua harta bendanya?”
Patih menjawab, “Semuanya akan kami serahkan kepada Tuanku, sekarang semuanya menjadi milik Paduka.”
Lalu Raja Bener pun memberi nasihat kepada seluruh bawahannya, “Hai semua menteri dan para punggawa, dengarkan petuahku: mereka yang mengabdi harus benar-benar tunduk-taat, mengikuti perintah, dan mendengarkan nasihat. Dan lagi, janganlah dengki kepada orang lain, kepada atasan jangan sampai membangkang. Contohnya diriku sendiri, yang didengki oleh raja sebelumnya.”
“Buktinya jelas: karena ketulusan hati, akhirnya menjadi selamat dan sekarang aku menjadi raja. Janganlah menginginkan jadi bangsawan bila tidak tahu caranya; akibatnya sering longgar di lubang jarum, tetapi seret di dunia luas, artinya, kalau mengabdi harus dengan kesungguhan hati.”

(Diterjemahkan dari Pariboga Salawe Dongeng Sunda, CM Pleyte, 1911)

Komentar