Langsung ke konten utama

Siul yang Meruntuhkan Tembok!


Oleh: Hasan Aspahani*)

Aku menjemputmu! Bis tingkat menderu, polusi membasahi Jakarta. Siapa mengusik pagi dengan siulan menyayat itu? “Klaus Meine, Scorpion,” katamu. Wind of Change berkumandang. Menyusuri Taman Gorky, tembok Berlin telah runtuh, katanya. Kau tahu beton itu telah rapuh sejak orang menyeberanginya demi cinta. Seperti kita.
(“Album Lama: Jakarta-Bandung”)

Saya telah awali tinjauan ini dengan petikan bait (atau paragraf?) pertama dari sajak lima bait ini. Ini salah satu sajak yang langsung saya sukai dari buku kumpulan puisi Ready Susanto, penyair kelahiran Palembang (1967) yang kini bermukim di Bandung ini.

Cerita tentang si aku yang menjemputmu (dengan sebuah tanda seru, sebagai isyarat girang? Atau tegang?) itu lantas dialirkan dengan amat lembut. Pemandangan dari jendela bis: mimpi, pinus di halaman sekolah yang kering, ragu, pertanyaan tentang cinta yang mempertemukan dua orang yang tetapi tidak merubuhkan sebuah tembok penghalang, kamar dan gaung televisi, hingga diakhiri dengan si aku yang mengantarmu. Ah, sempurna!

Di luar urusan tema dan bentuk, menulis sajak, apa pun jenisnya, pada dasarnya adalah proses membangun kompleksitas (gambar-gambar, suara, imaji, peristiwa) sambil menjaga keutuhan. Kompleksitas dan keutuhan, seperti dua kutub jebakan bagi penulis sajak. Jika sajak terlalu kuat tertarik ke kutub kompleksitas minus keutuhan maka yang ditawarkan adalah kerumitan-kerumitan yang susah ditembus pembaca. Jika sajak terlalu dekat pada keutuhan, tanpa kompleksitas maka yang tampil adalah sajak yang cair, terlalu mudah dibaca, dan karena itu ia gagal sebagai sajak.

Pada sajak ini, Ready berhasil membangun keutuhan itu. Saya suka sekali dengan kalimat awal dan kalimat akhir yang seakan menjadi tanda betapa sajak telah dijaga keutuhannya. Saya suka sekali dengan kompleksitas yang dibangun oleh penyair dengan berbagai jurus. Ia menyelangkan banyak hal dan bahkan mengutip sejumlah bait sajak yang membuat bait-bait sajaknya menjadi kuat. Maka bergiliran muncullah Ajip Rosidi, Goenawan Mohamad, dan Sapardi Djoko Damono. Petikan-petikan sajak itu melebur, lepas dari statusnya sebagai bagian dari sajaknya yang asli. Ia sah menjadi serpihan bata pembangun bangunan sajak baru.

Ready Susanto saya kira berhasil meruntuhkan tembok sajak-sajak yang ia baca, peristiwa-peristiwa berkesan yang ia alami, dan perasaan yang timbul dalam dirinya—mungkin cukup dengan menghembuskan sebuah siulan ringan saja—lantas ia bangun sajak barunya dengan memilih lantas menyertakan potongan-potongan reruntuhan yang ia buat tadi.

Selain sajak yang saya kutip di atas saya juga amat suka pada sajak “Album Lama: Sepanjang Tengku Umar”, “Nongsa Point Marina”, “Album: Cisangkuy”, “Wilayah Melankoli”, dan “Tiga Catatan Harian”. Hei, lihat, semua sajak itu adalah sajak-sajak yang bisa disebut sebagai puisi-prosa! Puisi yang bait-baitnya adalah paragraf. Puisi yang seakan tidak peduli pada bait, pemenggalan bait. Lantas di mana letak “puisi”-nya? Tanpa bait, bisakah nikmatnya rima dan ritma terasa? Sebuah puisi-prosa yang baik—sebagaimana layaknya sajak bebas lainnya, seharusnya tidak membunuh rima dan ritma. Ia hanya menyembunyikan, dan diam-diam kedua hal itu muncul, atau setidaknya terasa ketika terbaca, menimbulkan semacam rasa rempah yang lembut.

Puisi-prosa bukan petikan-prosa. Poet laureatte Amerika 2007 Charles Simic ada mengingatkan hal ini. Puisi-prosa bukan sekadar cuplikan cerita, ia juga bukan sekadar sebuah cerita yang dituliskan dengan puitis. Saya menemukan kekuatan puisi-prosa Ready Susanto di buku ini, dan saya menyukainya. Saya kira puisi-puisi itu akan menjadi penanda penting bagi kepenyairannya. Saya kira buku ini menjadi semacam sinyal baik bagi perjalanan menyairnya selanjutnya.

Penyair ini telah menunjukkan tanda-tanda kematangan memanfaatkan alat-alat puitika. Rima dan ritma, misalnya, dimaksimalkan oleh Ready pada beberapa sajaknya. Saya perlu sebuah petikan lagi sekaligus menjadi penutup yang manis untuk mengakhiri tinjauan ringkas ini. Saya pilih bagian terakhir dari sajak tiga bagian "Tiga Catatan Harian".

Seperti katamu, “perasaan bagai laut,” pasang surut.
Seperti kataku, “masa lalu bagai mambang,” menebarkan bimbang.
Lalu, “mengapa aku hanyut?”
Lantas, “pada siapa engkau takut?”

Televisi menyanyi: sebegitu dekatkah aku, hingga engkau kesepian?
Televisi menyanyi: sebegitu jauhkah engkau, hingga aku kehilangan?


-----------------
*) Hasan Aspahani, penyair, Pemimpin Redaksi Puisinet. Tulisan ini dikutip dari Majalah Puisinet: www.puisi.net

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri Margasatwa C. Bernard Rutley

Salah satu buku favorit ketika saya duduk di bangku SD adalah Seri Margasatwa karya penulis Australia C. Bernard Rutley, yang mengisahkan dengan sangat menarik mengenai kehidupan hewan di alam liar. Di Indonesia serial ini diterbitkan oleh NV Masa Baru (yang kemudian menjadi Penerbit Ganaco) pada sekitar 1974 (gambar paling kiri). Belakangan seri ini juga diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan (dua gambar yang di tengah). Ternyata terdapat 14 judul buku yang merupakan bagian dari seri ini, antara lain Cakma: Perampok Liar di Bukit Karang (kera babon), Piko: Pengempang Ulung di Air Tawar (kastor), Timur: Pemburu Kejam di Rimba Raya (harimau), dan Loki: Begal Bengis di Padang Salju (serigala). Di pasar buku loak masa kini, serial ini amat sulit diperoleh. Setelah mencari kian kemari, saya mendapatkan satu judul buku Timur: Pemburu Kejam di Rimba Raya di sebuah toko buku daring pada pertengahan 2015. Gambar paling kanan menunjukkan contoh Serial Margasatwa yang sama yang...

kenangan yang ditambah-tambahi atau ingatan yang dikurang-kurangi? | bac...

Sersan Grung-Grung dan Dwianto Setyawan

Disebut Sersan Grung-Grung karena batuknya berbunyi "grung-grung". Dia adalah tokoh cerita anak yang populer pada 1980-an. Nama aslinya Pak Darpodiroto namun lebih dikenal dengan panggilan Sersan Grung-Grung. Bersama mobil tua dan 6 orang anak ( yaitu Raka, Martinus, Samsul, Argo, Ninung dan Linda), dia membantu polisi memecahkan kasus-kasus kejahatan yang terjadi. Pengarangnya Dwianto Setyawan, kelahiran 12 Agustus 1949, berasal dari Kota Batu, Jawa Timur. Mulanya serial Sersan Grung-Grung dimuat secara bersambung di Majalah Bobo , kemudian dibukukan oleh Penerbit Gramedia. Ada 9 judul yang telah terbit, yaitu (1) Sersan Grung-Grung , (2) Rahasia Gua Jepang , (3) Orang-Orang Serakah , (4) Komplotan Daun Emas , (5) Penyamar Ulung , (6) Rencana Terselubung , (7) Ratu Bergaun Hitam , (8) Rahasia Topeng Berkumis , dan (9) Pala-Pala Motosep . Dwianto Setyawan mulai menulis pada 1972 dan telah menerbitkan puluhan judul novel anak. Termasuk pengarang favorit pada 1980...