Langsung ke konten utama

Mengemas Serpihan Berita Menjadi Buku


Sepucuk surat dari tim pengacara Akbar Tandjung melayang ke sebuah bangunan berlantai dua di Pejaten, Jakarta Selatan. Tiga lembar kertas berwarna cokelat kekuningan itu bukan sembarang surat. Isinya somasi terhadap PT Global Mahardika Netama yang menerbitkan buku Buloggate, Abdurrahmangate, Akbargate, Megaskandal dan berkantor di bangunan itu. Tim pengacara ketua umum Partai Golkar itu minta agar buku tersebut ditarik dari peredaran.

Pasalnya ternyata bukan karena isinya telah membuat Akbar Tandjung kebakaran jenggot. Persoalannya ternyata menyangkut hal lain. "Yang dipermasalahkan justru foto Akbar Tandjung di sampul," kata Mad Ridwan, penyusun Buloggate bersama Guntoro Suwarno.

Tim pengacara ketua DPR itu menggunakan pasal hak cipta karena penerbit mencantumkan foto kliennya tanpa minta izin. "Materi buku justru tidak dipermasalahkan," kata Ridwan, yang mantan wartawan mingguan politik Tekad ini.

Buku yang terdiri atas tujuh bab ini sejatinya tidak menampilkan temuan baru. Seperti diakui Ridwan, 90 persen isi buku sudah tertuang di media massa. Artinya buku ini merupakan kompilasi dari berbagai bahan yang dirangkum dalam satu kesatuan. "Sekitar lima sampai 10 persen merupakan temuan kita," kata Ridwan.

Rupanya membukukan sebuah peristiwa yang sedang hangat telah menjadi salah satu tren yang berkembang di dunia perbukuan. Paling tidak, itulah yang dilakukan penerbit Global Mahardika. Selain Buloggate yang terbit pada Mei 2002, Global Mahardika menerbitkan Kerusuhan Poso yang Sebenarnya pada November 2001. Buku ini ditulis oleh S. Sinansari ecip dan Darwis Waru. Satu bulan kemudian lahir buku Agenda Tersembunyi Tragedi WTC karya Dedi Junaedi dan Mujiyanto dari rahim penerbit yang sama.

Tren membukukan peristiwa sempat mengalami booming ketika peristiwa 11 September pecah tahun lalu. Buku tentang hancurnya dua menara kembar World Trade Center (WTC) di New York, AS, itu terbit dalam berbagai versi. Penerbit Gema Insani Press (GIP) Jakarta menerbitkan Jihad Osama Versus Amerika yang laris manis. Buku ini dicetak 3.000 eksemplar sekitar satu bulan setelah tragedi Selasa hitam itu ludes dalam waktu dua bulan.

Pemasaran buku karya Adian Husaini itu didukung pamflet besar-besaran di berbagai tempat. "Momen perlawanan terhadap Amerika itu cukup membantu pemasaran," kata Kusmanto, Kasubdiv Pemasaran GIP Jakarta.

Titik berat buku itu apalagi kalau bukan sosok pengusaha kaya yang terbuang dari negerinya, Osama bin Laden. Sampai akhir tahun lalu, bahkan sosok manusia yang paling dicari Amerika itu masih menjadi daya tarik untuk tema buku.

Selain GIP, penerbit baru seperti Ababil Press Jakarta tak kalah bersaing dengan seniornya. Tema Osama diusung besar-besaran lewat buku pertamanya Deklarasi Perang Usamah bin Ladin. Buku yang dicetak 5.000 eksemplar itu hampir tak terlihat di rak-rak toko buku setelah lima bulan dipasarkan karena laku keras. Begitu pula buku Osama bin Laden, Jihad Sepanjang Hayat karya Ready Susanto yang diterbitkan Kiblat Jakarta (yang benar: Kiblat Bandung, RS).

Buku-buku berbasis peristiwa itu sebenarnya hanya merangkai serpihan kisah yang berserakan di berbagai media. Jangan heran jika sumber utama buku tersebut aneka media massa, baik dalam maupun luar negeri. Kerap memang tak asal tempel dan tetap perlu kelihaian untuk membuat kisah yang bertebaran di berbagai media itu menjadi satu kesatuan kisah yang menarik. Lagipula tak semua berita di media massa bisa langsung diambil. Artinya tak mudah menuangkan berita dalam bentuk buku. "Tetap harus ada perspektif dari penulisnya," kata Ridwan.

Perspektif penyusun pada sebuah peristwa menentukan arah dan tujuan yang ingin dicapai. Karena itu, meski mengambil satu sumber sama, seringkali terjadi penafsiran yang berbeda. Dalam hal ini penyusun memilih kisah yang cocok dengan tujuan penulisan buku. Dalam Jihad Osama Versus Amerika misalnya, berbagai cuplikan dan pernyataan diambil untuk mendukung kebenaran yang diyakini penyusunnya.

Begitu pula, sebagian buku tersebut tak sekadar merangkai berita permukaan. Data dan fakta yang pernah dimuat media massa menjadi salah satu faktor pendukung penting. "Buku ini juga menyajikan referensi dan latar belakang masalah," kata Guntur Subagja, editor Buloggate.

Referensi dan latar belakang yang dimaksud adalah sejarah awal kehadiran Badan Urusan Logistik (Bulog). Sejarah pengendalian pangan itu dimulai ketia pemerintah kolonial Belanda membentuk Yayasan Bahan pangan atau Voeding Midden Fonds pada 25 April 1939. Yayasan itu terus berbenah dan berganti nama seiring dengan pergantian kekusaaan. Sampai akhirnya lewat keputusan presiden No. 69/1967 dibentuklah Bulog. Badan ini menggantikan Komando Logistik Nasional (Kolognas) yang dibentuk sejak 1966.

Penambahan latar belakang ini memperluas wawasan pembaca untuk sampai pada kasus dana nonneraca Bolug yang membelit Akbar Tandjung. Dengan paparan sejarah itu, pembaca dimudahkan memahami seluk beluk dana di kas Bulog. Dengan pola itu serpihan berita di media massa memiliki bobot tambahan. Hal ini bisa dimaklumi karena media massa cenderung memberitakan pusaran kasus dana Rp 40 miliar tersebut.

Bobot buku berbasis peristiwa tak melulu menyertakan latar belakang sejarahnya. Kehadiran penulis pada peristiwa yang terjadi tentu memberikan bobot yang lebih. Model ini biasanya dipilih oleh penulis yang memiliki latar belakang jurnalistik. Buku Kerusuhan Poso yang Sebenarnya ditulis bukan saja berdasarkan fakta tertulis di media, tapi penelusurun langsung di lapangan.

Cara ini memungkinkan karena Darwis, penulisnya, adalah seorang koresponden majalah Gamma dan redaktur pelaksana tabloid berita Formasi di Palu. Kedekatan tempat peristiwa memungkinkan Darwis menelisik kisah yang belum terungkap. Berita di media massa dikolaborasi dengan penelusuran lapangan hingga menjadi satu bentuk yang utuh. "Penyusun mencoba merapikan catatan kesaksian dan pengamatan," tulis Darwis dalam pengantarnya.

Sesungguhnya bukan hanya buku di atas yang membukukan sebuah peristiwa. Banyak tema yang telah dibukukan seperti kasus uang palsu. Buku yang hanya mencomot beberapa laporan media massa ini hadir sesaat setelah kasus uang palsu meledak dua tahun lalu. Buku ini tak lebih dari kliping berita. Tak heran jika kualitas yang dihasilkan layak dipertanyakan. Tema uang palsu menarik diangkat menjadi buku tak lama setelah terungkap keterlibatan seorang perwira militer dari Surabaya beberapa waktu lalu.

Banjir berita itu tak luput dari tangan-tangan terampil untuk menyajikannya dalam bentuk buku. Meski jauh dari bobot ilmiah, namun buku Ranjang Kedua Sang Presiden yang mengangkat tema affair seorang presiden itu laris manis. Buku bersampul wajah si empunya berita itu juga menghiasi rak-rak toko buku besar. Namanya berita hangat, bagaimana pun tetap menarik untuk dibukukan. (arif firmansyah)

(Sumber: Koran Tempo, 4 Agustus 2002)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri Margasatwa C. Bernard Rutley

Salah satu buku favorit ketika saya duduk di bangku SD adalah Seri Margasatwa karya penulis Australia C. Bernard Rutley, yang mengisahkan dengan sangat menarik mengenai kehidupan hewan di alam liar. Di Indonesia serial ini diterbitkan oleh NV Masa Baru (yang kemudian menjadi Penerbit Ganaco) pada sekitar 1974 (gambar paling kiri). Belakangan seri ini juga diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan (dua gambar yang di tengah). Ternyata terdapat 14 judul buku yang merupakan bagian dari seri ini, antara lain Cakma: Perampok Liar di Bukit Karang (kera babon), Piko: Pengempang Ulung di Air Tawar (kastor), Timur: Pemburu Kejam di Rimba Raya (harimau), dan Loki: Begal Bengis di Padang Salju (serigala). Di pasar buku loak masa kini, serial ini amat sulit diperoleh. Setelah mencari kian kemari, saya mendapatkan satu judul buku Timur: Pemburu Kejam di Rimba Raya di sebuah toko buku daring pada pertengahan 2015. Gambar paling kanan menunjukkan contoh Serial Margasatwa yang sama yang...

kenangan yang ditambah-tambahi atau ingatan yang dikurang-kurangi? | bac...

Sersan Grung-Grung dan Dwianto Setyawan

Disebut Sersan Grung-Grung karena batuknya berbunyi "grung-grung". Dia adalah tokoh cerita anak yang populer pada 1980-an. Nama aslinya Pak Darpodiroto namun lebih dikenal dengan panggilan Sersan Grung-Grung. Bersama mobil tua dan 6 orang anak ( yaitu Raka, Martinus, Samsul, Argo, Ninung dan Linda), dia membantu polisi memecahkan kasus-kasus kejahatan yang terjadi. Pengarangnya Dwianto Setyawan, kelahiran 12 Agustus 1949, berasal dari Kota Batu, Jawa Timur. Mulanya serial Sersan Grung-Grung dimuat secara bersambung di Majalah Bobo , kemudian dibukukan oleh Penerbit Gramedia. Ada 9 judul yang telah terbit, yaitu (1) Sersan Grung-Grung , (2) Rahasia Gua Jepang , (3) Orang-Orang Serakah , (4) Komplotan Daun Emas , (5) Penyamar Ulung , (6) Rencana Terselubung , (7) Ratu Bergaun Hitam , (8) Rahasia Topeng Berkumis , dan (9) Pala-Pala Motosep . Dwianto Setyawan mulai menulis pada 1972 dan telah menerbitkan puluhan judul novel anak. Termasuk pengarang favorit pada 1980...