
Ajip Rosidi 70 tahun? Ada tiga buku tebal yang terbit menyambutnya: Jejak Langkah Urang Sunda—70 Tahun Ajip Rosidi (480 hlm., bungarampai yang mewadahi pandangan orang terhadap Ajip, terbitan Kiblat Buku Utama, Bandung); Yang Datang Telanjang: Surat-Surat Ajip Rosidi dari Jepang 1980-2002 (804 hlm., kumpulan surat, terbitan Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta); dan Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam dalam Kenangan (1.364 hlm., otobiografi, terbitan Dunia Pustaka Jaya, Jakarta).
Tentu saja urusan buku-buku ini bukanlah soal aneh bin ajaib. Ajip yang digolongkan oleh Dr. Ulrich Kratz (1988) sebagai pengarang sajak dan cerpen paling produktif yang menghasilkan 326 judul karya dalam 22 majalah sampai dengan 1983 memang punya catatan mengesankan soal berkarya. Menerbitkan buku pertama kali pada usia 17, yaitu kumpulan cerpen Tahun-Tahun Kematian (1955), sampai 2008 dia telah menghasilkan 97 buku kumpulan sajak, kumpulan cerpen, roman, drama, cerita rakyat, cerita wayang, bacaan kanak-kanak, lelucon, esai dan kritik, polemik, memoar, bungarampai, terjemahan, biografi dan otobiografi, dan ensiklopedi. Tambahkan pula 62 judul karya di mana Ajip menjadi editor (dan menulis pengantar) untuk penerbitan karya sastra Sunda, publikasi penelitian pantun, menyunting karya-karya tersebar, menyunting buku yang terbit untuk menghormati orang lain, dan menyumbang untuk pelbagai bungarampai.
***
Tetapi yang menjadi gong tentulah otobiografinya ini, tempat kita para pembaca niscaya menemukan kembali pengalaman hidup yang kaya dari Ajip Rosidi. Bagi mereka yang mengikuti karya-karya Ajip sejak mula, maka apa yang disampaikan dalam otobiografi ini mungkin sudah banyak diketahui. Sebagian secara terserpih-serpih sudah dimuat dalam memoar, esai, dan kumpulan suratnya yang berbahasa Sunda seperti Hurip Waras! (1988), Pancakaki (1996), Cupumanik Astagina (1997), Trang-Trang Kolentrang (1999), dan Ucang-Ucang Angge (2001). Sebagian kisah itu dapat pembaca temukan juga dalam roman dan kumpulan cerpennya yang semibiografis seperti Perjalanan Penganten (1958) dan Di Tengah Keluarga (1956).
Membaca otobiografi lebih dari seribu halaman ini (amat jarang otobiografi orang Indonesia yang ditulis setebal ini, yang terlintas dalam ingatan cuma otobiografi Deliar Noer Aku Bagian Ummat, Aku Bagian Bangsa, —pen.) pembaca memang disuguhi dengan pengalaman hidup Ajip yang kaya. Tak heran, karena Ajip masuk ke pelataran elite sastrawan Indonesia pada usia belasan, masih bercelana pendek, begitu selalu kata orang—pembaca bisa lihat fotonya dalam buku ini. Dia berkawan (akrab) dengan ratusan orang, tidak hanya dari kalangan seniman, tetapi juga dari kalangan politikus dan negarawan. Ajip diangkat anak oleh “Ayah” Sjafruddin Prawiranegara, dekat dengan “Papih” pelukis Affandi, didengar omongannya oleh Bang Ali (Sadikin)—untuk menggambarkan sebagian hubungannya yang intens dengan para tokoh di pentas nasional. Jangan kata pertemanannya dengan kalangan sastra seperti Rendra, Soekanto S.A., S.M. Ardan, Misbach Jusa Biran, dan sebagainya. Untuk soal kesukaan berteman ini, diakui oleh para sahabatnya, Ajip memang tidak ada duanya.
Jadi, kalau Ajip bercerita seputar para teman atau orang-orang yang ditemui dalam hidupnya saja (yang memang merupakan orang-orang terkenal itu) tentulah sudah amat menarik. Aspek daya tarik insani atau human interest-nya sudah lebih dari memadai. Cobalah baca pelukisannya tentang Bung Karno dan Bung Hatta (h. 94) yang ditemuinya pada waktu menjadi penjaga stand Pekan Buku Nasional yang diselenggarakan toko buku dan penerbit Gunung Agung pada 1954. “...Ketika sampai di stand yang kujaga, Tjio Wie Tay yang mengantarnya selalu memperkenalkan aku sebagai penyair. Presiden Sukarno demi mendengar keterangan Tjio Wie Tay itu, langsung bertanya kepadaku, ‘Sudah membaca Megha Duta’.” Lain halnya dengan Moh. Hatta yang tidak peduli pada keterangan bahwa Ajip itu seorang penyair. “Beliau lebih tertarik pada buku. Sambil mengambil Hamlet karya William Shakespeare terjemahan Trisno Sumardjo terbitan Pembangunan, beliau bertanya: ‘Di mana ini dicetak? Bagus!’.”
Pergaulan Ajip yang luas membuat otobiografi ini kaya dengan nama. Memuat ratusan nama, pembaca dapat menemukan pelukisan mengenai tokoh-tokoh yang tak asing lagi macam Pramoedya Ananta Toer (h. 182), Mh. Rustandi Kartakusumah (h. 190), Usmar Ismail (h. 191-193), B.J. Habibie (h. 514-516), Mahbub Djunaidi (h. 597), Nurcholish Madjid (h. 972), atau Moh. Natsir (h. 1016).
***
Tentu yang akan selalu menarik dalam sebuah otobiografi adalah penggambaran berbagai peristiwa penting dari perspektif penulisnya. Dalam kaitan dengan sejarah Indonesia, ada beberapa peristiwa penting yang dikemukakan dalam buku ini, yang akan membuat otobiografi ini akan menjadi rujukan penting bagi para penulis sejarah yang kemudian. Salah satunya adalah mengenai sikap Ajip dan seniman-seniman Bandung yang menolak menandatangani Manifes Kebudayaan karena mengganggap Manifes bukanlah dokumen kebudayaan melainkan dokumen politik. Hal itu menyebabkan muncul kecurigaan bahwa seniman-seniman Bandung mempunyai hubungan dengan seniman-seniman Lekra. Perdebatan mengenai soal ini misalnya sudah sejak awal diikuti Ajip seperti tergambar dalam buku ini (antara lain h. 314-322).
Peristiwa lain yang penting adalah “protes” beberapa seniman terhadap penebangan beberapa pohon di TIM, yang membuat Dewan Kesenian Jakarta dituduh merusak lingkungan (!). Peristiwa yang kemudian terus berlanjut dengan kritik terhadap Akademi Jakarta-Dewan Kesenian Jakarta—dan Ajip secara pribadi, yang ketika itu menjadi Ketua DKJ—mengenai berbagai persoalan (h. 766-788).
Masih banyak hal lain lagi yang diungkap dalam otobiografi Ajip yang ditulisnya dalam tempo hanya beberapa bulan ini. Perhatiannya yang khusus terhadap budaya daerah mendapat tempat yang sentral juga. Ajip misalnya terdorong untuk mendirikan Yayasan Kebudayaan Rancage yang sampai kini sudah duapuluh tahun secara rutin memberikan penghargaan kepada para penulis sastra dan orang-orang yang berjasa dalam pengembangan bahasa Sunda, Jawa, Bali, dan Lampung (sejak 2008). Dia juga memprakarasai pelaksanaan Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS, 2001) yang berlangsung sukses, juga ikut membidani berdirinya Yayasan Pusat Studi Sunda.
Ada nada getir pada bagian akhir otobiografi ini, ketika Ajip menyebut “tak melihat cahaya harapan” (h. 1179), dan kemudian terulang juga nada itu dalam bagian “Tanya Jawab Diri Sendiri” (h. 1202-1224). Ditulis saat kondisi tanahair kita makin terpuruk seperti saat ini, nada semacam itu rasanya wajar-wajar saja. Tapi Ajip adalah panser, sebentar dia akan berderap lagi.
(Ready Susanto, editor, penulis buku 100 Tokoh Abad ke-20: Paling Berpengaruh)
-----------------------------------------------------------------------------
Judul Buku: Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam dalam Kenangan
Karya: Ajip Rosidi
Penerbit: Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 2008
Tebal: xxxiii + 1.330 hlm.
-----------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini dimuat di Harian Seputar Indonesia
Komentar
Posting Komentar