Kisah
tentang Membaca, Meresensi, Menyunting, dan Menulis Buku
[1]
Pada tahun-tahun selanjutnya, sembari tetap rutin
membaca Bobo, saya menemukan pula majalah
Si Kuncung yang memuat lebih banyak
cerita kaya teks. Majalah anak-anak yang usianya jauh lebih tua dari Bobo ini—terbit pertama kali pada 1 April 1956—memperkenalkan saya pada para pengarang cerita
anak-anak terkemuka pada masa itu.
Ada Soekanto S.A., Trim Suteja, Surtiningsih W.T., Ris Therik, H.B. Soepiyo, Mansur Samin, dan
beberapa nama lainnya. Majalah anak-anak lainnya yang saya baca adalah Kawanku dan Ananda, walaupun tidak seteratur membaca
Bobo dan Si Kuncung.
![]() |
www.goodread.com |
Saya membaca banyak cerita anak-anak yang tergolong klasik, baik karya asli maupun
terjemahan, seperti “Sebatang Kara” (Hector Malot), “Oliver Twist” (Charles
Dickens), “Petualangan Huckleberry Finn” (Mark Twain), “Anak-Anak yang Bahagia”
(Soekanto S.A.), dan “Si Mulus” (Surtiningsih W.T.). Tidak ketinggalan pula cerita-cerita fiksi ilmiah karya Djokolelono seperti “Getaran” dan
“Terlempar ke Masa Silam”. Seingat
saya, cukup banyak buku yang tersedia di perpustakaan ketika itu. Pendek kata, masa itu sungguh sangat menyenangkan dan tak terlupakan.
Beranjak remaja, saya berkenalan dengan majalah Hai yang
sangat mempengaruhi saya. Di sana saya mengenal Arswendo Atmowiloto dengan tokoh Imung, Kiki, dan Keluarga Cemara. Di sana pula saya membaca
karya Hilman Hariwijaya, Gola Gong, Kembang Manggis, Ags. Arya Dipayana, dan
sederet pengarang muda lainnya. Tak hanya Hai, saya membaca juga koran Kompas dan Suara Karya,
majalah Hai dan Gadis, dan berbagai macam buku yang menjadi koleksi perpustakaan SMP dan SMA
saya. Saya
mulai membaca karya-karya yang sering
disebut dalam pelajaran bahasa Indonesia. Tertatih-tatih
mencoba menikmati “Grotta Azzura” karya
Sutan Takdir Alisyahbana, asyik
menikmati “Harimau! Harimau!” Mochtar Lubis, dan terpesona oleh “Pada
Sebuah Kapal” Nh. Dini.
Semua bacaan itu membuat saya semakin hari semakin
tertarik untuk menulis. Apalagi ketika membaca tulisan Arswendo Atmowiloto, “Mengarang Itu Gampang”—yang
kemudian terbit sebagai buku. Dengan gaya yang santai dan akrab, Arswendo membuat
menulis menjadi sesuatu yang gampang dan bisa dimulai setiap saat, di
mana saja, dan tentang apa saja. Maka mulailah saya menulis cerita pendek dan artikel remaja.
Beberapa di antaranya muncul di majalah Gadis, Hai, Mode, koran Suara Karya dan Merdeka. Cerpen
pertama saya dimuat di Gadis bertema
fiksi ilmiah, bercerita tentang seorang gadis Indonesia yang berkomunikasi dengan
makhluk cerdas dari planet lain. Dari honorarium menulis itulah saya bisa membeli
mesin ketik merek Olympia pertama saya. Resensi buku pertama saya
yang dimuat berjudul “Secercah Kisah
Masa Muda Ajip”, mengulas roman Anak
Tanahair karya Ajip Rosidi, dimuat di Hai
Super—suplemen koran yang diterbitkan majalah Hai—pada 1985. Keinginan untuk menjadi
penulis semakin kuat. Ketika mengikuti Sipenmaru pada 1986, saya tanpa ragu memilih
Jurusan Jurnalistik Fikom Unpad.
[2]
Masuk ke Jurusan Jurnalistik, kesan sebagai
kampus wartawan dan penulis sangat saya rasakan. Kesan pertama yang
membanggakan dan tak terlupakan pada masa orientasi adalah kehadiran para
senior yang sudah berkiprah di media massa. Ada nama Agung Firmansyah, Maman
Gantra, Haris Sumadiria, Yosal Iriantara, Aceng Abdullah, untuk menyebut
beberapa nama. Mereka kabarnya sudah menjadi wartawan atau penulis di
media-media yang terkemuka saat itu. Beberapa dari mereka berkecimpung di unit
kegiatan Republic Science Club (RSC), yang membuat saya kemudian tertarik untuk
bergabung pula di situ.
Mata kuliah di Fikom, khususnya mata
kuliah jurusan, saya pandang sangat bermanfaat buat para penulis atau jurnalis.
Mata kuliah favorit saya antara lain penulisan berita, penulisan karangan khas,
dan penulisan laporan mendalam. Apalagi ketika mengambil perkuliahan pelaporan
mendalam, kami ditugaskan untuk
menentukan sendiri materi liputan, meliput, dan menuliskannya. Setelah tugas
selesai, dosen mata kuliah tersebut, Sahala Tua Saragih, mengirimkannya ke Suara Pembaruan dan Jayakarta. Betapa naik rasa percaya diri kami ketika
tulisan-tulisan tersebut akhirnya muncul di media-media tersebut.
Saya tidak begitu ingat kapan
persisnya mulai rajin menulis resensi buku. Yang jelas pada 1988, setiap Kamis saya punya ritual khusus berkunjung ke lapak koran kecil di Jalan
Ganesha dekat Kampus ITB. Di lapak koran itulah saya
biasa menemukan koran Bandung Pos
yang memuat rubrik “Resensi Buku”
pada hari itu. Alangkah senangnya bila ternyata salah
satu tulisan yang dimuat adalah tulisan saya atau teman saya. Teman seangkatan yang juga sering menulis
resensi buku adalah Indra Sutha dan Taufik Abriansyah. “Persaingan” menulis
resensi buku di koran nasional tidak hanya terjadi antara teman-teman sekampus
tetapi juga antara para penulis dari berbagai kota. Para penulis dari Yogya
juga sangat produktif menulis, salah satu yang saya ingat betul adalah Taufan
Hidayat, yang belakangan mendirikan penerbit di Bandung.
Alasan
menulis resensi buku barangkali sangat praktis. Pertama, karena saya sangat senang membaca buku, dan
relatif cukup mudah untuk menuangkan komentar tentang buku yang saya baca itu ke dalam bentuk
tulisan. Di sisi lain, sebagian besar media cetak saat itu menyediakan rubrik
resensi buku paling tidak seminggu sekali. Tulisan berupa resensi buku lebih
berpeluang untuk dimuat di media massa dibandingkan dengan bentuk tulisan
lainnya. Menulis artikel pasti membutuhkan lebih banyak waktu dan sumber,
sementara persaingan antarpenulisnya pun lebih ketat. Menulis
reportase dan
karangan khas mungkin lebih mudah, tetapi lahan ini biasanya diperuntukkan
bagi wartawan atau kontributor di media massa yang bersangkutan, bukan untuk penulis lepas.
Maka saya menjadi
“spesialis” penulis resensi buku pada kurun 1988-1992 itu. Mulanya saya hanya menulis
tinjauan tentang buku yang saya baca karena minat pribadi, terutama buku sastra.
Tetapi dalam perkembangannya saya mulai menulis resensi untuk berbagai bidang
di luar sastra. Saya menulis resensi buku komunikasi, politik, bisnis,
biografi, dan sebagainya. Saya rajin berkunjung ke toko buku, mencari buku yang menarik
dan baru terbit, kemudian meresensi dan mengirimkannya ke media cetak yang
cocok.
Honorarium yang diberikan oleh media massa untuk
penulis resensi buku sangat beragam. Media
yang satu memberi honor yang cukup untuk membeli lagi 4 sampai 5 buah buku
tebal, media yang lain memberi honor seharga sebuah buku tipis saja. Tetapi karena setiap bulannya saya menulis paling tidak
dua resensi buku, ditambah tulisan
lainnya, honorarium yang diperoleh per bulan bisa disebut lumayan untuk
menambah uang saku seorang mahasiswa perantauan. Dengan
itu saya bisa membeli buku-buku buat kuliah dan buku-buku lain yang menarik
buat saya, bahkan kadang-kadang masih bisa juga buat mentraktir teman-teman.
![]() |
bukubukubekas.files.wordpress.com |
Selalu mengikuti perkembangan buku
baru membuat saya memiliki bahan pula untuk menulis artikel mengenai perbukuan.
Tak jarang pula, saya menulis tinjauan yang lebih mendalam mengenai satu atau beberapa buku dan mengirimkannya ke
rubrik Budaya atau Opini. Misalnya, saya
pernah menulis mengenai serial “Opera” karya Titi
Nginung atau
Arwendo Atmowiloto dan mengirimkannya ke media massa. Tulisan berjudul
“Lamunan-Lamunan Lepas yang Menemukan Bentuk” ini dimuat sebagai suatu artikel
di Kompas Minggu. Saya juga menulis
artikel sejenis mengenai tren novel-novel detektif pada 1980-an, tentang novel detektif Indonesia,
dan beberapa tema lainnya, dan mengirimkannya ke rubrik di luar Resensi Buku.
Semakin
produktif menulis, tidak hanya Kamis yang menjadi “hari besar”. Jumat, misalnya, adalah hari Suara Karya, sementara Minggu adalah hari buat banyak koran,
khususnya Kompas.
Saya
tidak lagi hanya menulis resensi buku, tetapi juga artikel, laporan mendalam,
resensi film, karangan khas, dan sebagainya. Tetapi sebagai mahasiswa, tulisan
terbanyak saya adalah berbentuk resensi buku. Lebih dari 100 resensi buku yang saya tulis dalam kurun waktu empat tahun
itu, rata-rata dua resensi buku per bulan. Pemuatannya
pun tidak lagi terbatas di media-media lokal seperti Bandung Pos, Pikiran Rakyat, dan Sriwijaya Post,
tetapi juga di media nasional seperti Kompas,
Suara Karya, Bisnis Indonesia, Pelita,
Mutiara, Jayakarta, dan Editor.
[3]
![]() |
pustakatama.blogspot.com |
Berada di ruangan Rahman Tolleng, saya mungkin agak kikuk atau bahkan takut, barangkali sedikit berkeringat dingin. Apalagi
ketika bagian personalia yang
mengantar saya meninggalkan ruangan itu. Duduk santai
di kursinya yang bersandaran tinggi, memegang pipa dengan gaya yang khas,
matanya berpindah ke lembaran koran di atas meja.
“Tulisan you
dimuat hari ini ya?” itulah kata-kata pertamanya. Kata-kata itulah yang paling lekat dalam ingatan saya. Selebihnya, kami mengobrol kesana kemari, mulai dari soal
perbukuan hingga ke soal gerakan mahasiswa di Bandung. Saya sendiri pun baru
mengetahui bahwa tulisan saya, kalau tidak salah mengenai pers, dimuat hari itu di rubrik opini koran Bisnis Indonesia. Sungguh suatu “kebetulan”
yang manis. “Kebetulan” yang lain
adalah bahwa saya cukup sering menulis resensi buku-buku Pustaka Utama Grafiti
di media massa dan klipingnya terdokumentasi dengan baik oleh penerbit. Seharian itu saya diminta menyelesaikan beberapa tes: menyunting, menerjemahkan, dan menulis. Ketika
semuanya selesai, Pak Rahman memanggil saya, “Senin depan kamu masuk ya. Soal-soal lain kita
bicarakan sambil berjalan.”
Begitulah, saya pun menjadi editor di Pustaka Utama
Grafiti pada kurun 1993-1998.
Terbiasa menulis, khususnya resensi buku, membuat pekerjaan mengedit buku
terasa akrab. Sudut pandang sebagai sebagai peninjau, penilai, komentator,
atau kritikus pada seorang penulis
resensi kurang-lebih memiliki kesamaan dengan sudut pandang seorang editor. Ketika
menilai naskah yang diajukan oleh seorang penulis kepada penerbit amat terasatu;
berguna hal-hal yang diperoleh dari banyak mata kuliah di Kampus, baik itu
berupa pengetahuan, wawasan, dan terutama sikap kritis sebagai seorang jurnalis.
Buku pertama yang saya edit adalah
kumpulan tulisan “Kontroversi Alquran Berwajah Puisi” (1995) yang isinya memuat
tulisan-tulisan pro dan kontra terhadap Alquran berwajah puisi yang digagas
oleh H.B. Jassin. Di Pustaka Utama Grafiti saya memperoleh banyak sekali
pengetahuan dan pengalaman dalam soal buku dan hal-hal yang terkait dengannya. Tidak
hanya menyunting buku, saya terlibat pula dalam kegiatan membantu promosi dan
pemasaran buku, merencanakan dan merintis lini buku pelajaran, mengikuti
pameran buku Frankfurt 1996, dan
sebagainya.
Krisis ekonomi pada 1998 membuat banyak
penerbit buku matisuri, salah satunya adalah Pustaka Utama Grafiti. Sekeluar
dari PU Grafiti saya bekerja sebagai editor di beberapa media cetak di Jakarta,
kemudian masuk ke Divisi Buku Pelajaran Penerbit Mizan pada 1999, dan ikut
mendirikan Penerbit Kiblat Utama di Bandung pada 2000. Menulis di media massa
tetap saya lakukan, bahkan pada 1999-2002, saya dipercayai mengelola beberapa
rubrik tetap di tabloid Tokoh, salah
satu media baru terbitan kelompok Bali
Post.
[4]
Salah satu kejadian paling
menggemparkan yang menandai pergantian abad ini adalah runtuhnya menara kembar
WTC di New York, AS, pada 11 September 2001. Setiap minggunya Tokoh menurunkan berbagai tulisan yang
terkait dengan peristiwa ini, dan sebagai kontributor saya paling tidak
menurunkan satu tulisan setiap minggunya. Hingga kemudian Amerika Serikat
memulai operasi militer di Afganistan pada 7 Oktober 2001 sudah terkumpul cukup
banyak tulisan yang berkesinambungan
mengenai kejadian ini.
Saya kemudian berinisiatif untuk
mengangkat tulisan-tulisan ini ke dalam sebuah buku. Dalam suatu “operasi” yang
sigap dengan dibantu teman-teman di Penerbit Kiblat saya merombak, menyunting,
dan menyusun ulang tulisan-tulisan itu agar menjadi sebuah buku yang menarik. Sudut
pandang menarik yang saya gunakan saat itu adalah tokoh Usamah bin Ladin yang
dianggap sebagai otak serangan itu. Buku Osama
bin Laden: Jihad Sepanjang Hayat (Kiblat Buku Utama) itu terbit pada Oktober dan dicetak ulang pada November 2001.
![]() |
facebook.com/pages/100-Tokoh-Abad-ke-20 |
Beberapa buku yang saya sebutkan di
atas menunjukkan bahwa tulisan-tulisan di media massa bisa menjadi sumber
penulisan buku bila penulisnya dapat mengeksplorasi bahan-bahan itu lebih jauh.
Tak hanya menulis buku-buku yang berkaitan dengan rubrik atau tulisan di media
massa, saya juga menulis buku-buku jenis lainnya, seperti kamus, buku bacaan
anak dan remaja, serta buku pelajaran (bersama tim).
Di laci meja saya masih tersimpan berbagai
rencana untuk buku yang akan ditulis, salah satunya mungkin tentang bagaimana
meresensi buku atau tentang grup musik The Beatles yang saya sukai. Jadi
sesungguhnya babak ini masih jauh dari berakhir. Namun izinkan saya mengakhiri
tulisan ini dengan mengutip peringatan dari “dokter ahli” menulis, William
Zinsser, dalam bukunya On Writing Well (2001).
”Berlebih-lebihan
menulis tentang diri sendiri bisa berbahaya bagi kesehatan penulis dan
pembaca,” katanya. Alih-alih “berbahaya”, semoga tulisan ini ada manfaatnya
buat pembaca. Salam jurnal!
Komentar
Posting Komentar