Langsung ke konten utama

Empat Babak dalam Buku Kehidupanku


Kisah tentang Membaca, Meresensi, Menyunting, dan Menulis Buku

[1]
Pada mulanya adalah membaca. Saya tak ingat sejak kapan persisnya mulai suka membaca. Tapi ayah sering membelikan majalah Bobo pada sekitar 1975-1976 saat saya duduk di bangku TK dan SD. Bobo pertama kali terbit pada 14 April 1973, dan penampilan majalah itu pada tahun-tahun pertamanya sangat jelas tergambar dalam memori saya. Kisah Bobo, Coreng, Upik, Tut Tut, Bapak, Emak, Paman Gembul, dan tokoh-tokoh keluarga kelinci itu terasa begitu lekat dan hidup dalam imajinasi saya.
Pada tahun-tahun selanjutnya, sembari tetap rutin membaca Bobo, saya menemukan pula majalah Si Kuncung yang memuat lebih banyak cerita kaya teks. Majalah anak-anak yang usianya jauh lebih tua dari Bobo initerbit pertama kali pada 1 April 1956memperkenalkan saya pada para pengarang cerita anak-anak terkemuka pada masa itu. Ada Soekanto S.A., Trim Suteja, Surtiningsih W.T.,  Ris Therik, H.B. Soepiyo, Mansur Samin, dan beberapa nama lainnya. Majalah anak-anak lainnya yang saya baca adalah Kawanku dan Ananda, walaupun tidak seteratur membaca Bobo dan Si Kuncung.
www.goodread.com
Secara rutin saya juga meminjam buku anak-anak dari perpustakaan SD. Tidak cukup dengan itu, saya juga meminjam buku dari perpustakaan SD tempat Ibu saya mengajar. Hampir setiap minggu saya membaca beragam buku anak-anak. Yang sangat berkesan di hati saya adalah buku cerita serial tentang kehidupan hewan liar. Salah satu judulnya saya ingat sampai hari ini, yaitu “Loki Begal Bengis di Padang Salju”, mengisahkan kehidupan seekor serigala. Judul-judul lainya saya lupa persisnya, tapi nama-nama tokohnya masih jelas teringat: Timur (harimau), Piko (berang-berang), Inkosi (singa),  dan Miska (singa laut).
Saya membaca banyak cerita anak-anak yang tergolong klasik, baik karya asli maupun terjemahan, seperti “Sebatang Kara” (Hector Malot), “Oliver Twist” (Charles Dickens), “Petualangan Huckleberry Finn” (Mark Twain), “Anak-Anak yang Bahagia” (Soekanto S.A.), dan “Si Mulus” (Surtiningsih W.T.). Tidak ketinggalan pula cerita-cerita fiksi ilmiah karya Djokolelono seperti “Getaran” dan “Terlempar ke Masa Silam”. Seingat saya, cukup banyak buku yang tersedia di perpustakaan ketika itu. Pendek kata, masa itu sungguh sangat menyenangkan dan tak terlupakan.
Beranjak remaja, saya berkenalan dengan majalah Hai yang sangat mempengaruhi saya. Di sana saya mengenal Arswendo Atmowiloto dengan tokoh Imung, Kiki, dan Keluarga Cemara. Di sana pula saya membaca karya Hilman Hariwijaya, Gola Gong, Kembang Manggis, Ags. Arya Dipayana, dan sederet pengarang muda lainnya. Tak hanya Hai, saya membaca juga koran Kompas dan Suara Karya, majalah Hai dan Gadis, dan berbagai macam buku yang menjadi koleksi perpustakaan SMP dan SMA saya. Saya mulai membaca karya-karya yang sering disebut dalam pelajaran bahasa Indonesia. Tertatih-tatih mencoba menikmati “Grotta Azzura” karya Sutan Takdir Alisyahbana, asyik menikmati “Harimau! Harimau!” Mochtar Lubis, dan terpesona oleh “Pada Sebuah Kapal” Nh. Dini.
Semua bacaan itu membuat saya semakin hari semakin tertarik untuk menulis. Apalagi ketika membaca tulisan Arswendo Atmowiloto, “Mengarang Itu Gampang”—yang kemudian terbit sebagai buku. Dengan gaya yang santai dan akrab, Arswendo membuat  menulis menjadi sesuatu yang gampang dan bisa dimulai setiap saat, di mana saja, dan tentang apa saja.  Maka mulailah saya menulis cerita pendek dan artikel remaja. Beberapa di antaranya muncul di majalah Gadis, Hai, Mode, koran Suara Karya dan Merdeka. Cerpen pertama saya dimuat di Gadis bertema fiksi ilmiah, bercerita tentang seorang gadis Indonesia yang berkomunikasi dengan makhluk cerdas dari planet lain. Dari honorarium menulis itulah saya bisa membeli mesin ketik merek Olympia pertama saya. Resensi buku pertama saya yang dimuat  berjudul “Secercah Kisah Masa Muda Ajip”, mengulas roman Anak Tanahair karya Ajip Rosidi, dimuat di Hai Super—suplemen koran yang diterbitkan majalah Hai—pada 1985. Keinginan untuk menjadi penulis semakin kuat. Ketika mengikuti Sipenmaru pada 1986, saya tanpa ragu memilih Jurusan Jurnalistik Fikom Unpad.

[2]
Masuk ke Jurusan Jurnalistik, kesan sebagai kampus wartawan dan penulis sangat saya rasakan. Kesan pertama yang membanggakan dan tak terlupakan pada masa orientasi adalah kehadiran para senior yang sudah berkiprah di media massa. Ada nama Agung Firmansyah, Maman Gantra, Haris Sumadiria, Yosal Iriantara, Aceng Abdullah, untuk menyebut beberapa nama. Mereka kabarnya sudah menjadi wartawan atau penulis di media-media yang terkemuka saat itu. Beberapa dari mereka berkecimpung di unit kegiatan Republic Science Club (RSC), yang membuat saya kemudian tertarik untuk bergabung pula di situ.
Mata kuliah di Fikom, khususnya mata kuliah jurusan, saya pandang sangat bermanfaat buat para penulis atau jurnalis. Mata kuliah favorit saya antara lain penulisan berita, penulisan karangan khas, dan penulisan laporan mendalam. Apalagi ketika mengambil perkuliahan pelaporan mendalam, kami ditugaskan untuk menentukan sendiri materi liputan, meliput, dan menuliskannya. Setelah tugas selesai, dosen mata kuliah tersebut, Sahala Tua Saragih, mengirimkannya ke Suara Pembaruan dan Jayakarta. Betapa naik rasa percaya diri kami ketika tulisan-tulisan tersebut akhirnya muncul di media-media tersebut.
Saya tidak begitu ingat kapan persisnya mulai rajin menulis resensi buku. Yang jelas pada 1988, setiap Kamis saya punya ritual khusus berkunjung ke lapak koran kecil di Jalan Ganesha dekat Kampus ITB. Di lapak koran itulah saya biasa menemukan koran Bandung Pos yang memuat rubrik “Resensi Buku” pada hari itu. Alangkah senangnya bila ternyata salah satu tulisan yang dimuat adalah tulisan saya atau teman saya. Teman seangkatan yang  juga sering menulis resensi buku adalah Indra Sutha dan Taufik Abriansyah. “Persaingan” menulis resensi buku di koran nasional tidak hanya terjadi antara teman-teman sekampus tetapi juga antara para penulis dari berbagai kota. Para penulis dari Yogya juga sangat produktif menulis, salah satu yang saya ingat betul adalah Taufan Hidayat, yang belakangan mendirikan penerbit di Bandung.
Alasan menulis resensi buku barangkali sangat praktis. Pertama, karena saya sangat senang membaca buku, dan relatif cukup mudah untuk menuangkan komentar tentang buku yang saya baca itu ke dalam bentuk tulisan. Di sisi lain, sebagian besar media cetak saat itu menyediakan rubrik resensi buku paling tidak seminggu sekali. Tulisan berupa resensi buku lebih berpeluang untuk dimuat di media massa dibandingkan dengan bentuk tulisan lainnya. Menulis artikel pasti  membutuhkan lebih banyak waktu dan sumber, sementara persaingan antarpenulisnya pun lebih ketat. Menulis reportase dan karangan khas mungkin lebih mudah, tetapi lahan ini biasanya diperuntukkan bagi wartawan atau kontributor di media massa yang bersangkutan, bukan untuk penulis lepas.
Maka saya menjadi “spesialis” penulis resensi buku pada kurun 1988-1992 itu. Mulanya saya hanya menulis tinjauan tentang buku yang saya baca karena minat pribadi, terutama buku sastra. Tetapi dalam perkembangannya saya mulai menulis resensi untuk berbagai bidang di luar sastra. Saya menulis resensi buku komunikasi, politik, bisnis, biografi, dan sebagainya. Saya rajin berkunjung ke toko buku, mencari buku yang menarik dan baru terbit, kemudian meresensi dan mengirimkannya ke media cetak yang cocok.
Honorarium yang diberikan oleh media massa untuk penulis resensi buku sangat beragam. Media   yang satu memberi honor yang cukup untuk membeli lagi 4 sampai 5 buah buku tebal, media yang lain memberi honor seharga sebuah buku tipis saja.  Tetapi karena setiap bulannya saya menulis paling tidak dua resensi buku, ditambah tulisan lainnya, honorarium yang diperoleh per bulan bisa disebut lumayan untuk menambah uang saku seorang mahasiswa perantauan. Dengan itu saya bisa membeli buku-buku buat kuliah dan buku-buku lain yang menarik buat saya, bahkan kadang-kadang masih bisa juga buat mentraktir teman-teman.
bukubukubekas.files.wordpress.com
Namun adakalanya juga jatah belanja buku ini masih terasa kurang apalagi dalam sebulan terbit cukup banyak buku yang menarik. Suatu ketika pada 1987, misalnya, saat saya menemukan edisi bahasa Indonesia buku Spycatcher karya mantan agen MI5 Inggris, Peter Wright, baru saja terbit. Buku aslinya terbit pada Juli 1987 dan langsung menghebohkan karena mengungkap borok di tubuh Dinas Rahasia Inggris. Kisah ini sangat menarik dan aktual, sehingga resensi mengenai buku ini hampir pasti akan dimuat di media massa manapun jika ditulis. Namun buku yang tebalnya lebih dari 300 halaman ini cukup mahal buat ukuran mahasiswa. Sejenak ragu, akhirnya saya merogoh sisa uang saku saya untuk membeli buku itu. Ngebut membaca semalaman, besoknya saya menulis, dan seminggu kemudian tulisan itu terbit di Suara Karya.
Selalu mengikuti perkembangan buku baru membuat saya memiliki bahan pula untuk menulis artikel mengenai perbukuan. Tak jarang pula, saya menulis tinjauan yang lebih mendalam mengenai satu atau beberapa buku dan mengirimkannya ke rubrik Budaya atau Opini. Misalnya, saya pernah menulis mengenai serial “Opera” karya Titi Nginung atau Arwendo Atmowiloto dan mengirimkannya ke media massa. Tulisan berjudul “Lamunan-Lamunan Lepas yang Menemukan Bentuk” ini dimuat sebagai suatu artikel di Kompas Minggu. Saya juga menulis artikel sejenis mengenai tren novel-novel detektif pada 1980-an, tentang novel detektif Indonesia, dan beberapa tema lainnya, dan mengirimkannya ke rubrik  di luar Resensi Buku.
Semakin produktif menulis, tidak hanya Kamis yang menjadi “hari besar”. Jumat, misalnya, adalah hari Suara Karya, sementara Minggu adalah hari buat banyak koran, khususnya Kompas. Saya tidak lagi hanya menulis resensi buku, tetapi juga artikel, laporan mendalam, resensi film, karangan khas, dan sebagainya. Tetapi sebagai mahasiswa, tulisan terbanyak saya adalah berbentuk resensi buku. Lebih dari 100 resensi buku yang saya tulis dalam kurun waktu empat tahun itu, rata-rata dua resensi buku per bulan. Pemuatannya pun tidak lagi terbatas di media-media lokal seperti Bandung Pos, Pikiran Rakyat, dan Sriwijaya Post, tetapi juga di media nasional seperti Kompas, Suara Karya, Bisnis Indonesia, Pelita, Mutiara, Jayakarta, dan Editor.

[3]
pustakatama.blogspot.com
Tak pernah terbayangkan bahwa tulisan pula yang mengantarkan saya mendapatkan pekerjaan dengan lancar. Saya mendapat surat panggilan dari Pustaka Utama Grafiti, perusahaan penerbit buku kelompok Tempo, pada 1993. Saya dijadwalkan bertemu dengan A. Rahman Tolleng yang menjabat Direktur Penerbitan di sana. Nama Rachman Tolleng bukan nama asing buat para aktivis mahasiswa saat itu. Buku “Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia” (François Raillon, LP3ES, 1985) yang berkisah mengenai suratkabar Mahasiswa Indonesia yang dipimpinnya pada 1960-an menjadi semacam bacaan wajib para aktivis mahasiwa.
Berada di ruangan Rahman Tolleng,  saya mungkin agak kikuk atau bahkan takut, barangkali sedikit berkeringat dingin. Apalagi ketika bagian personalia yang mengantar saya meninggalkan ruangan itu. Duduk santai di kursinya yang bersandaran tinggi, memegang pipa dengan gaya yang khas, matanya berpindah ke lembaran koran di atas meja.
“Tulisan you dimuat hari ini ya?” itulah kata-kata pertamanya.  Kata-kata itulah yang paling lekat dalam ingatan saya. Selebihnya, kami mengobrol kesana kemari, mulai dari soal perbukuan hingga ke soal gerakan mahasiswa di Bandung. Saya sendiri pun baru mengetahui bahwa tulisan saya, kalau tidak salah mengenai pers,  dimuat hari itu di rubrik opini koran Bisnis Indonesia. Sungguh suatu “kebetulan” yang manis. “Kebetulan” yang lain adalah bahwa saya cukup sering menulis resensi buku-buku Pustaka Utama Grafiti di media massa dan klipingnya terdokumentasi dengan baik oleh penerbit. Seharian itu saya diminta menyelesaikan beberapa tes: menyunting, menerjemahkan, dan menulis. Ketika semuanya selesai, Pak Rahman memanggil saya, “Senin depan kamu masuk ya. Soal-soal lain kita bicarakan sambil berjalan.”
Begitulah, saya pun menjadi editor di Pustaka Utama Grafiti pada kurun 1993-1998. Terbiasa menulis, khususnya resensi buku, membuat pekerjaan mengedit buku terasa akrab. Sudut pandang sebagai sebagai peninjau, penilai, komentator, atau  kritikus pada seorang penulis resensi kurang-lebih memiliki kesamaan dengan sudut pandang seorang editor. Ketika menilai naskah yang diajukan oleh seorang penulis kepada penerbit amat terasatu; berguna hal-hal yang diperoleh dari banyak mata kuliah di Kampus, baik itu berupa pengetahuan, wawasan, dan terutama sikap kritis sebagai seorang jurnalis.
Buku pertama yang saya edit adalah kumpulan tulisan “Kontroversi Alquran Berwajah Puisi” (1995) yang isinya memuat tulisan-tulisan pro dan kontra terhadap Alquran berwajah puisi yang digagas oleh H.B. Jassin. Di Pustaka Utama Grafiti saya memperoleh banyak sekali pengetahuan dan pengalaman dalam soal buku dan hal-hal yang terkait dengannya. Tidak hanya menyunting buku, saya terlibat pula dalam kegiatan membantu promosi dan pemasaran buku, merencanakan dan merintis lini buku pelajaran, mengikuti pameran buku Frankfurt  1996, dan sebagainya.
Krisis ekonomi pada 1998 membuat banyak penerbit buku matisuri, salah satunya adalah Pustaka Utama Grafiti. Sekeluar dari PU Grafiti saya bekerja sebagai editor di beberapa media cetak di Jakarta, kemudian masuk ke Divisi Buku Pelajaran Penerbit Mizan pada 1999, dan ikut mendirikan Penerbit Kiblat Utama di Bandung pada 2000. Menulis di media massa tetap saya lakukan, bahkan pada 1999-2002, saya dipercayai mengelola beberapa rubrik tetap di tabloid Tokoh, salah satu media baru terbitan kelompok Bali Post.

[4]
Salah satu kejadian paling menggemparkan yang menandai pergantian abad ini adalah runtuhnya menara kembar WTC di New York, AS, pada 11 September 2001. Setiap minggunya Tokoh menurunkan berbagai tulisan yang terkait dengan peristiwa ini, dan sebagai kontributor saya paling tidak menurunkan satu tulisan setiap minggunya. Hingga kemudian Amerika Serikat memulai operasi militer di Afganistan pada 7 Oktober 2001 sudah terkumpul cukup banyak tulisan yang berkesinambungan  mengenai kejadian ini.
Saya kemudian berinisiatif untuk mengangkat tulisan-tulisan ini ke dalam sebuah buku. Dalam suatu “operasi” yang sigap dengan dibantu teman-teman di Penerbit Kiblat saya merombak, menyunting, dan menyusun ulang tulisan-tulisan itu agar menjadi sebuah buku yang menarik. Sudut pandang menarik yang saya gunakan saat itu adalah tokoh Usamah bin Ladin yang dianggap sebagai otak serangan itu. Buku Osama bin Laden: Jihad Sepanjang Hayat (Kiblat Buku Utama) itu terbit pada  Oktober dan dicetak ulang pada November 2001.
facebook.com/pages/100-Tokoh-Abad-ke-20
Ada beberapa buku saya yang lain yang berasal dari tulisan-tulisan di tabloid Tokoh. Buku 100 Tokoh Abad ke-20: Paling Berpengaruh (Nuansa, Cet. I, 2004; Cet. IV, 2011) berasal dari tulisan-tulisan dalam rubrik “100 Tokoh Dunia” yang saya asuh dari April 2000 hingga April 2002. Ensiklopedi Tokoh-Tokoh Wanita:  Dari Mistikus hingga Politikus (Nuansa, 2008) berasal dari rubrik “100 Wanita Utama”. Sedangkan Diana Setelah Kematian: Sejumlah Kesaksian yang Menghebohkan (Kreasi, 2003) berasal dari tulisan-tulisan mengenai Putri Diana.
Beberapa buku yang saya sebutkan di atas menunjukkan bahwa tulisan-tulisan di media massa bisa menjadi sumber penulisan buku bila penulisnya dapat mengeksplorasi bahan-bahan itu lebih jauh. Tak hanya menulis buku-buku yang berkaitan dengan rubrik atau tulisan di media massa, saya juga menulis buku-buku jenis lainnya, seperti kamus, buku bacaan anak dan remaja, serta buku pelajaran (bersama tim).
Di laci meja saya masih tersimpan berbagai rencana untuk buku yang akan ditulis, salah satunya mungkin tentang bagaimana meresensi buku atau tentang grup musik The Beatles yang saya sukai. Jadi sesungguhnya babak ini masih jauh dari berakhir. Namun izinkan saya mengakhiri tulisan ini dengan mengutip peringatan dari “dokter ahli” menulis, William Zinsser, dalam bukunya On Writing Well (2001). ”Berlebih-lebihan menulis tentang diri sendiri bisa berbahaya bagi kesehatan penulis dan pembaca,” katanya. Alih-alih “berbahaya”, semoga tulisan ini ada manfaatnya buat pembaca. Salam jurnal!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri Margasatwa C. Bernard Rutley

Salah satu buku favorit ketika saya duduk di bangku SD adalah Seri Margasatwa karya penulis Australia C. Bernard Rutley, yang mengisahkan dengan sangat menarik mengenai kehidupan hewan di alam liar. Di Indonesia serial ini diterbitkan oleh NV Masa Baru (yang kemudian menjadi Penerbit Ganaco) pada sekitar 1974 (gambar paling kiri). Belakangan seri ini juga diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan (dua gambar yang di tengah). Ternyata terdapat 14 judul buku yang merupakan bagian dari seri ini, antara lain Cakma: Perampok Liar di Bukit Karang (kera babon), Piko: Pengempang Ulung di Air Tawar (kastor), Timur: Pemburu Kejam di Rimba Raya (harimau), dan Loki: Begal Bengis di Padang Salju (serigala). Di pasar buku loak masa kini, serial ini amat sulit diperoleh. Setelah mencari kian kemari, saya mendapatkan satu judul buku Timur: Pemburu Kejam di Rimba Raya di sebuah toko buku daring pada pertengahan 2015. Gambar paling kanan menunjukkan contoh Serial Margasatwa yang sama yang...

kenangan yang ditambah-tambahi atau ingatan yang dikurang-kurangi? | bac...

Sersan Grung-Grung dan Dwianto Setyawan

Disebut Sersan Grung-Grung karena batuknya berbunyi "grung-grung". Dia adalah tokoh cerita anak yang populer pada 1980-an. Nama aslinya Pak Darpodiroto namun lebih dikenal dengan panggilan Sersan Grung-Grung. Bersama mobil tua dan 6 orang anak ( yaitu Raka, Martinus, Samsul, Argo, Ninung dan Linda), dia membantu polisi memecahkan kasus-kasus kejahatan yang terjadi. Pengarangnya Dwianto Setyawan, kelahiran 12 Agustus 1949, berasal dari Kota Batu, Jawa Timur. Mulanya serial Sersan Grung-Grung dimuat secara bersambung di Majalah Bobo , kemudian dibukukan oleh Penerbit Gramedia. Ada 9 judul yang telah terbit, yaitu (1) Sersan Grung-Grung , (2) Rahasia Gua Jepang , (3) Orang-Orang Serakah , (4) Komplotan Daun Emas , (5) Penyamar Ulung , (6) Rencana Terselubung , (7) Ratu Bergaun Hitam , (8) Rahasia Topeng Berkumis , dan (9) Pala-Pala Motosep . Dwianto Setyawan mulai menulis pada 1972 dan telah menerbitkan puluhan judul novel anak. Termasuk pengarang favorit pada 1980...