![]() |
Sumber: Dok. penulis. |
Industri penerbitan buku di Indonesia bukanlah industri yang populer. Dari segi bisnis, industri itu tak terlalu “menjanjikan”. Perhatikanlah berapa oplah rata-rata setiap buku yang terbit di Indonesia: antara 2.000 hingga 3.000 eksemplar per judul. Ada tambahan lagi, buku sejumlah itu rata-rata terjual dalam waktu 1-2 tahun.
Sebuah buku akan disebut laris (bestseller) apabila
bisa terjual habis dalam hitungan beberapa bulan setelah terbit dan
mencapai oplah 5.000 eksemplar. Bandingkan dengan buku laris di luar
negeri yang bisa mencapai oplah jutaan eksemplar. Buku Stephen Hawking, A Brief History of Time misalnya, telah terjual jutaan eksemplar di seluruh dunia. Sementara edisi Indonesianya, Riwayat Sang Kala (diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti, Jakarta), “baru” terjual puluhan ribu eksemplar.
Yang
“agak” lumayan adalah para penerbit buku pelajaran yang dari segi oplah
bisa menembus angka puluhan ribu eksemplar per judul. Namun, rintangan
yang cukup besar bagi para penerbit yang akan masuk ke bisnis tersebut
adalah soal pemasaran yang membutuhkan armada besar. Sejak beberapa
tahun lalu, tata niaga buku pelajaran “rusak” ketika sebuah penerbit
mulai memotong jalur distribusi penerbit—distributor—toko buku—siswa
menjadi langsung penerbit—sekolah. Sejak saat itu, para penerbit buku
pelajaran berlomba-lomba dan “adu kuat” dalam penjualan langsung ke
sekolah.
Ketidakpopuleran
profesi penerbit buku juga terlihat dari “kalah pamor”-nya
profesi-profesi yang ada di penerbitan buku. Profesi editor buku kurang
dikenal masyarakat, tak seperti profesi editor atau redaktur di
penerbitan pers. Bahkan, adakalanya kalau kita menyebut profesi editor,
orang akan balik bertanya, “Editor di koran apa?” Atau, yang lebih parah
lagi kalau mereka mengelirukan dengan profesi auditor.
Secara
institusi, penerbit buku hampir selalu dikelirukan dengan percetakan
(hlm. 261). Persepsi tersebut sangat umum ditemui di semua kalangan,
bahkan saya pernah mengalami hal seperti itu saat mengurus akta
perusahaan di kantor notaris, yang notabene mestinya mengerti secara
persis bidang-bidang usahayang tercantum dalam akta-akta.
Buku
yang diterbitkan untuk memperingati 50 tahun Ikatan Penerbit Indonesia
(Ikapi) pada 17 Mei 2000 ini sedikit-banyak dapat meluruskan
kekeliruan-kekeliruan semacam itu. Buku ini sendiri dapat disebut sebuah
buku “langka” lantaran tak sering para publishing man ini
angkat bicara mengenai profesi yang mereka tekuni. Ada 24 praktisi
penerbitan yang menyumbangkan tulisan dalam buku tersebut, dan pelbagai
latar belakang berbeda, mulai dari (yang terbanyak) bidang editorial,
desain, produksi, pemasaran/distribusi, keuangan, hingga manajemen.
Penuturan
mereka itu cukup menarik dan tampaknya dapat membuka cakrawala para
pembaca akan pelbagai kerumitan yang dihadapi kalangan penerbit.
Sulitnya mendapatkan naskah yang siap terbit, repotnya mengurusi
soal-soal pemasaran, promosi, atau pembajakan buku merupakan senarai
(daftar) masalah yang dihadapi oleh kalangan penerbit. Tentu saja,
soal-soal tersebut cukup sering muncul di media massa, tapi penuturan
langsung dari sumber pertama merupakan kekuatan utama buku ini.
Lebih
dari itu, meski penerbit Indonesia tak populer dan produknya (baca:
buku) terus dibebani pajak, orang-orang penerbitan itu tampaknya tak
pernah mengeluh—paling tidak kalau Anda membaca buku ini. Yang mencuat
justru optimisme bahwa peluang untuk maju dalam bidang itu sangat
terbuka. Tak kalah pentingnya, orang-orang penerbitan itu memiliki
kebanggaan besar terhadap profesi yang mereka tekuni. Barangkali, inilah
salah satu sebab mengapa industri penerbitan buku “tak mati-mati”. Di
dalam masyarakat kita yang angka melek hurufnya masih rendah dan
memasyarakatkan membaca adalah suatu kegiatan yang hampir-hampir mission impossible, usaha “keras kepala” dari para penerbit itu sangat layak diacungi jempol.
(Tulisan ini dimuat dalam rubrik “Rehal”, Majalah Forum Keadilan, No. 23, 10 September 2000)
Judul buku: Menjadi Penerbit: Para Praktisi Industri Penerbitan Buku di Indonesia Berbicara Mengenai Profesinya; Editor: Mula Harahap, dkk.; Penerbit: Ikapi Jakarta, Juni 2000, 186 hlm.)
Komentar
Posting Komentar