Langsung ke konten utama

Kuliah Sang “Wartawan Salon”


 Kala itu paro pertama tahun 1989. Saya duduk di Semester VI, mengambil 11 mata kuliah—5 di antaranya mata kuliah jurusan. Pada semester inilah, ketika kami para mahasiswa Angkatan 1986 sedang seru-serunya bergelut dengan pelbagai mata kuliah keterampilan jurnalitik, kami pertama kali berjumpa dengan Sahala Tua Saragih di ruang kuliah. Dia dosen baru, karena sebelumnya kami belum pernah berjumpa dengan dia. Pada tahun-tahun itu, dosen-dosen mata kuliah jurusan Jurnalistik yang akrab di mata mahasiswa antara lain nama-nama Nurhartini Korompis, Betty Soemirat, Atang Sjamsudin, Darmawan Zainun, Djaja U. Padmawidjaja, M. Djen Amar, Dendi Sudiana, dan beberapa dosen lain.
Kesan pertama berjumpa dengan Sahala, dia orang yang ramah dan senyumnya lembut. Sikapnya sopan bahkan ketika berbicara dengan mahasiswa. Mengajar mata kuliah Komunikasi Pembangunan, dia menjadi asisten Ibu Nurhartini Korompis—yang akrab dipanggil Ibu Tintun. Ketika Ibu Tintun mengajar di depan kelas, Sahala selalu berada di sisi kelas sambil mempersiapkan materi ajar yang dibutuhkan. Sesekali dia membawakan minuman untuk Ibu Tintun.
Mengajar mata kuliah yang lain yaitu Penulisan Artikel, dia benar-benar pegang rol di depan kelas. Saya lupa apakah dia saat itu sebagai asisten ataukah dosen utama, yang jelas sepanjang semester itu kami endapat tempaan yang rada lain dari biasanya. Kelas menjadi semacam ruang simulasi kantor redaksi suratkabar. Mahasiswa diminta membuat usulan tema-tema artikel, mempertajamnya dengan diskusi-diskusi di dalam kelas. Sahala selalu punya pertanyaan kritis, setanding dengan pertanyaan dosen Logika kami, W. Poespoprodjo. Hasilnya, ide-ide yang mentah pasti mental jumpalitan. Ide-ide bagus didorong untuk dituliskan menjadi artikel.
Tapi jangan senang dulu kalau idemu bagus. Karena begitu dia ditulis dalam bentuk artikel dan dihadapkan sekali lagi ke meja Sahala, akan tampak banyak kelemahannya. Rupanya, ide bagus saja tidak cukup kalau datamu lemah (karena kurang riset atau membaca buku dan koran), bahasamu amburandul, dan logikamu tidak runtut. Kalau semua itu beres, kau masih harus punya keterampilan lain yang tak kalah penting: merumuskan lead dan judul artikel. Karena kamu menulis artikel untuk media massa, judul dan lead tulisan menjadi penting dan sangat menentukan agar tulisan itu bisa dimuat.
Pelajaran lain yang membuat para mahasiswa harus benar-benar jungkir-balik menghayati pola kerja wartawan adalah mata kuliah Pelaporan Mendalam (In Depth Reporting). Di dalam ruang kelasnya, “Pemimpin Redaksi” Sahala akan membagi mahasiswa dalam kelompok-kelompok yang berisi 6-7 orang mahasiswa. Masing-masing kelompok akan mengajukan tema peliputan mendalamnya untuk dibahas di dalam kelas. Masing-masing kelompok tentu saja berlomba-lomba untuk membuat peliputan yang keren, eksklusif, tapi juga realistis. Jika tema peliputan itu sudah disetujui, setiap kelompok akan menyusun rancangan narasumber dan draf pertanyaan untuk wawancara. Setelah itu para mahasiswa akan diberi tenggat waktu (deadline) untuk turun ke lapangan, melakukan peliputan, dan menuliskan laporannya.
Walhasil, mata kuliah Pelaporan Mendalam ini paling berhasil menirukan pola kerja wartawan media massa. Bukan saja dalam hal suasana “kerja” yang dibangunnya tetapi juga dari hasil peliputan mahasiswa yang relatif layak terbit di media massa. Sahala berinisiatif mengirimkan hasil karya kami para mahasiswa ke media massa. Seingat saya, pada saat itu semua karya pelaporan mahasiswa dapat terbit di media massa nasional seperti Suara Pembaruan dan Jayakarta. Liputan kelompok kami mengenai gedung-gedung tua di Bandung, misalnya, dimuat di halaman depan harian Jayakarta (ketika itu satu grup dengan Suara Pembaruan).
Model perkuliahan praktek yang dikembangkan oleh Sahala di jurusan Jurnalistik membuat para mahasiswa tidak canggung lagi ketika masuk ke tahap praktek kerja (job training) di lembaga-lembaga pers. Keterampilan teknis mahasiswa bahkan sudah memadai untuk menjadi wartawan di media massa yang ada. Saya sendiri bersama beberapa rekan angkatan 1986 bahkan “ikut-ikutan” menjadi wartawan kegiatan kampus di bawah bimbingan A. Haris Sumadiria, menulis untuk Bandung Pos dan kemudian Harian Gala (di bawah manajemen Media Indonesia). Ketika tiba masanya praktek kerja pada 1990, saya dan beberapa rekan “bekerja” untuk harian Mandala (di bawah manajemen Kompas) yang dipimpin oleh wartawan senior Kompas, Her Suganda.
Pada kurun 1990-an itu, di samping bertemu di kampus Sekeloa, saya acap berjumpa Sahala ketika meliput kegiatan-kegiatan seminar di kampus-kampus. Pada waktu itu pula dia masih bekerja sebagai koresponden Suara Pembaruan untuk wilayah liputan Bandung. Secara berseloroh dia menyebut dirinya “wartawan salon” karena sering meliput seminar-seminar yang ada di kampus. Dalam salah satu foto di album saya, tampak ketika Sahala dan para mahasiswanya mewawancarai Harmoko (saat itu Menteri Penerangan) dalam suatu acara seminar nasional di Aula Unpad.
Setelah lulus pada 1992, saya tidak melanjutkan terjun ke dunia pers dan mulai 1993 bekerja sebagai editor di Penerbit Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. Dalam suatu kesempatan berkunjung ke Bandung saya berjumpa dengan Sahala. “Kamu ke mana saja?” katanya.
Saya lalu bercerita bahwa saya sudah bekerja di sebuah penerbit di Jakarta.
“Kang Her mencari kamu. Kalau belum dapat kerja temui dia di Kompas,” katanya, sambil menyebutkan nama Her Suganda, wartawan senior Kompas yang pernah memimpin Harian Mandala—tempat kami berpraktek kerja beberapa tahun lalu.
Demikianlah. Akan halnya Sahala Tua Saragih, saya sulit merumuskan dirinya hanya sebagai seorang dosen. Secara pribadi saya menganggap dirinya sebagai seorang mentor, yang bukan hanya memberi ilmu dan keterampilan tetapi juga bimbingan untuk memasuki dunia kehidupan. Dalam setiap pertemuan, komentarnya selalu “menantang” kita untuk maju, misalnya, “Mana buku barumu?”
Belakangan saya mulai berani juga balas “menantangnya”: “Bang, mana buku teks Pelaporan Mendalam-nya?”

(Tulisan ini dimuat sebagai salah satu tulisan dalam buku Mereka dan Bang Sahala, editor: Justito Adiprasetio dan Yus Ariyanto, IKA Jurnalistik FIKOM Unpad bekerja sama dengan Penerbit Cenel Aura Media, Juni 2019)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri Margasatwa C. Bernard Rutley

Salah satu buku favorit ketika saya duduk di bangku SD adalah Seri Margasatwa karya penulis Australia C. Bernard Rutley, yang mengisahkan dengan sangat menarik mengenai kehidupan hewan di alam liar. Di Indonesia serial ini diterbitkan oleh NV Masa Baru (yang kemudian menjadi Penerbit Ganaco) pada sekitar 1974 (gambar paling kiri). Belakangan seri ini juga diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan (dua gambar yang di tengah). Ternyata terdapat 14 judul buku yang merupakan bagian dari seri ini, antara lain Cakma: Perampok Liar di Bukit Karang (kera babon), Piko: Pengempang Ulung di Air Tawar (kastor), Timur: Pemburu Kejam di Rimba Raya (harimau), dan Loki: Begal Bengis di Padang Salju (serigala). Di pasar buku loak masa kini, serial ini amat sulit diperoleh. Setelah mencari kian kemari, saya mendapatkan satu judul buku Timur: Pemburu Kejam di Rimba Raya di sebuah toko buku daring pada pertengahan 2015. Gambar paling kanan menunjukkan contoh Serial Margasatwa yang sama yang...

kenangan yang ditambah-tambahi atau ingatan yang dikurang-kurangi? | bac...

Sersan Grung-Grung dan Dwianto Setyawan

Disebut Sersan Grung-Grung karena batuknya berbunyi "grung-grung". Dia adalah tokoh cerita anak yang populer pada 1980-an. Nama aslinya Pak Darpodiroto namun lebih dikenal dengan panggilan Sersan Grung-Grung. Bersama mobil tua dan 6 orang anak ( yaitu Raka, Martinus, Samsul, Argo, Ninung dan Linda), dia membantu polisi memecahkan kasus-kasus kejahatan yang terjadi. Pengarangnya Dwianto Setyawan, kelahiran 12 Agustus 1949, berasal dari Kota Batu, Jawa Timur. Mulanya serial Sersan Grung-Grung dimuat secara bersambung di Majalah Bobo , kemudian dibukukan oleh Penerbit Gramedia. Ada 9 judul yang telah terbit, yaitu (1) Sersan Grung-Grung , (2) Rahasia Gua Jepang , (3) Orang-Orang Serakah , (4) Komplotan Daun Emas , (5) Penyamar Ulung , (6) Rencana Terselubung , (7) Ratu Bergaun Hitam , (8) Rahasia Topeng Berkumis , dan (9) Pala-Pala Motosep . Dwianto Setyawan mulai menulis pada 1972 dan telah menerbitkan puluhan judul novel anak. Termasuk pengarang favorit pada 1980...