
Kesan pertama berjumpa dengan Sahala, dia orang
yang ramah dan senyumnya lembut. Sikapnya sopan bahkan ketika berbicara dengan
mahasiswa. Mengajar mata kuliah Komunikasi Pembangunan, dia menjadi asisten Ibu
Nurhartini Korompis—yang akrab dipanggil Ibu Tintun. Ketika Ibu Tintun mengajar
di depan kelas, Sahala selalu berada di sisi kelas sambil mempersiapkan materi
ajar yang dibutuhkan. Sesekali dia membawakan minuman untuk Ibu Tintun.
Mengajar mata kuliah yang lain yaitu Penulisan
Artikel, dia benar-benar pegang rol di depan kelas. Saya lupa apakah dia saat
itu sebagai asisten ataukah dosen utama, yang jelas sepanjang semester itu kami endapat tempaan yang rada lain dari biasanya. Kelas menjadi semacam ruang
simulasi kantor redaksi suratkabar. Mahasiswa diminta membuat usulan tema-tema
artikel, mempertajamnya dengan diskusi-diskusi di dalam kelas. Sahala selalu
punya pertanyaan kritis, setanding dengan pertanyaan dosen Logika kami, W.
Poespoprodjo. Hasilnya, ide-ide yang mentah pasti mental jumpalitan. Ide-ide
bagus didorong untuk dituliskan menjadi artikel.
Tapi jangan senang dulu kalau idemu bagus.
Karena begitu dia ditulis dalam bentuk artikel dan dihadapkan sekali lagi ke
meja Sahala, akan tampak banyak kelemahannya. Rupanya, ide bagus saja tidak
cukup kalau datamu lemah (karena kurang riset atau membaca buku dan koran),
bahasamu amburandul, dan logikamu tidak runtut. Kalau semua itu beres, kau
masih harus punya keterampilan lain yang tak kalah penting: merumuskan lead dan judul artikel. Karena kamu
menulis artikel untuk media massa, judul dan lead tulisan menjadi penting dan sangat menentukan agar tulisan itu
bisa dimuat.
Pelajaran lain yang membuat para mahasiswa
harus benar-benar jungkir-balik menghayati pola kerja wartawan adalah mata
kuliah Pelaporan Mendalam (In Depth Reporting). Di dalam ruang kelasnya,
“Pemimpin Redaksi” Sahala akan membagi mahasiswa dalam kelompok-kelompok yang
berisi 6-7 orang mahasiswa. Masing-masing kelompok akan mengajukan tema peliputan
mendalamnya untuk dibahas di dalam kelas. Masing-masing kelompok tentu saja
berlomba-lomba untuk membuat peliputan yang keren, eksklusif, tapi juga
realistis. Jika tema peliputan itu sudah disetujui, setiap kelompok akan
menyusun rancangan narasumber dan draf pertanyaan untuk wawancara. Setelah itu
para mahasiswa akan diberi tenggat waktu (deadline)
untuk turun ke lapangan, melakukan peliputan, dan menuliskan laporannya.
Walhasil, mata kuliah Pelaporan Mendalam ini
paling berhasil menirukan pola kerja wartawan media massa. Bukan saja dalam hal
suasana “kerja” yang dibangunnya tetapi juga dari hasil peliputan mahasiswa
yang relatif layak terbit di media massa. Sahala berinisiatif mengirimkan hasil
karya kami para mahasiswa ke media massa. Seingat saya, pada saat itu semua
karya pelaporan mahasiswa dapat terbit di media massa nasional seperti Suara Pembaruan dan Jayakarta. Liputan kelompok kami mengenai gedung-gedung tua di
Bandung, misalnya, dimuat di halaman depan harian Jayakarta (ketika itu satu grup dengan Suara Pembaruan).
Model perkuliahan praktek yang dikembangkan
oleh Sahala di jurusan Jurnalistik membuat para mahasiswa tidak canggung lagi
ketika masuk ke tahap praktek kerja (job
training) di lembaga-lembaga pers. Keterampilan teknis mahasiswa bahkan
sudah memadai untuk menjadi wartawan di media massa yang ada. Saya sendiri
bersama beberapa rekan angkatan 1986 bahkan “ikut-ikutan” menjadi wartawan
kegiatan kampus di bawah bimbingan A. Haris Sumadiria, menulis untuk Bandung Pos dan kemudian Harian Gala (di bawah manajemen Media Indonesia). Ketika tiba masanya
praktek kerja pada 1990, saya dan beberapa rekan “bekerja” untuk harian Mandala (di bawah manajemen Kompas) yang dipimpin oleh wartawan
senior Kompas, Her Suganda.
Pada kurun 1990-an itu, di samping bertemu di
kampus Sekeloa, saya acap berjumpa Sahala ketika meliput kegiatan-kegiatan seminar
di kampus-kampus. Pada waktu itu pula dia masih bekerja sebagai koresponden Suara Pembaruan untuk wilayah liputan
Bandung. Secara berseloroh dia menyebut dirinya “wartawan salon” karena sering
meliput seminar-seminar yang ada di kampus. Dalam salah satu foto di album saya,
tampak ketika Sahala dan para mahasiswanya mewawancarai Harmoko (saat itu
Menteri Penerangan) dalam suatu acara seminar nasional di Aula Unpad.
Setelah lulus pada 1992, saya tidak melanjutkan
terjun ke dunia pers dan mulai 1993 bekerja sebagai editor di Penerbit Pustaka
Utama Grafiti, Jakarta. Dalam suatu kesempatan berkunjung ke Bandung saya
berjumpa dengan Sahala. “Kamu ke mana saja?” katanya.
Saya lalu bercerita bahwa saya sudah bekerja di
sebuah penerbit di Jakarta.
“Kang Her mencari kamu. Kalau belum dapat kerja
temui dia di Kompas,” katanya, sambil
menyebutkan nama Her Suganda, wartawan senior Kompas yang pernah memimpin Harian Mandala—tempat kami berpraktek kerja beberapa tahun lalu.
Demikianlah. Akan halnya Sahala Tua Saragih,
saya sulit merumuskan dirinya hanya sebagai seorang dosen. Secara pribadi saya
menganggap dirinya sebagai seorang mentor, yang bukan hanya memberi ilmu dan
keterampilan tetapi juga bimbingan untuk memasuki dunia kehidupan. Dalam setiap
pertemuan, komentarnya selalu “menantang” kita untuk maju, misalnya, “Mana buku
barumu?”
Belakangan saya mulai berani juga balas
“menantangnya”: “Bang, mana buku teks Pelaporan
Mendalam-nya?”
(Tulisan ini dimuat sebagai salah satu tulisan dalam buku Mereka dan Bang Sahala, editor: Justito
Adiprasetio dan Yus Ariyanto, IKA Jurnalistik FIKOM Unpad bekerja sama dengan
Penerbit Cenel Aura Media, Juni 2019)
Komentar
Posting Komentar